Mengganti Paspor, Lebih Cepat Daring atau Datang Langsung?

Ketika belum lama ini perlu mengganti paspor yang akan habis masa berlakunya pada Oktober 2016 mendatang, saya mengurusnya dengan cara datang langsung (walk-in) ke kantor Imigrasi.

Paspor baru dan lama. FOTO: Benny

Walk-in? Kok tidak mengurus secara online yang disebut-sebut prosesnya lebih cepat ketimbang walk-in?

Sebenarnya, saya sempat mencoba jalur online atau daring terlebih dahulu.

Sabtu siang, 9 April 2016 lalu, saya sudah menyiapkan waktu khusus untuk mengisi formulir data paspor secara daring lewat situs web Imigrasi.

Awalnya, semua berjalan lancar hingga tiba pada tahap memilih jadwal kedatangan di Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Surabaya. Sejenak saya tertegun menatap layar monitor.

Di tahap itu, pilihan tanggal yang tersedia dimulai dari 20 April 2016 hingga beberapa hari sesudahnya. Berarti, jika saya tetap memilih jalur daring, saya harus menunggu setidaknya 11 hari kemudian baru bisa datang ke kantor Imigrasi untuk melanjutkan proses selanjutnya. Wah, lama sekali.

Setelah mempertimbangkan sikonnya, akhirnya saya tidak jadi menuntaskan pengisian formulir pada siang itu secara online.

Sebagai gantinya, saya memutuskan akan mencoba lewat jalur lain. Yaitu, datang langsung ke kantor Imigrasi. Pertimbangan saya, dengan cara ini paspor baru saya mungkin bisa lebih cepat berada di tangan. Pasalnya, saya dapat datang sewaktu-waktu, tidak tergantung pada ketersediaan jadwal kedatangan seperti via jalur daring.

Memilih datang langsung bukannya tanpa tantangan. Cukup banyak nasihat bertebaran di dunia Internet yang mengatakan bahwa jika hendak mengurus pembuatan paspor secara datang langsung, pemohon harus datang sepagi mungkin agar tidak kehabisan nomor antrean. Setidaknya, sudah siap di kantor Imigrasi pada pukul 07.30 WIB, saat dimulainya jam pelayanan permohonan paspor, atau beberapa jam sebelumnya. Apakah hingga sekarang masih harus seperti itu?

Saat saya mencoba datang langsung ke Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Surabaya (tapi terletak di Waru, Sidoarjo) pada hari Senin, 11 April 2016, lalu, saya gagal mengurus.

Bukan, bukan karena kehabisan nomor antrean. Lantas, apa penyebabnya? Tidak mendapat tempat parkir kendaraan.

Soal terbatasnya lahan parkir bagi pemohon paspor di kantor itu memang sudah menjadi semacam problem klasik sejak dahulu kala sampai sekarang. Meskipun di sekitar situ ada pihak yang menyediakan lahan parkir mobil bertarif Rp10.000,-, tetap saja sering kali kapasitasnya penuh, seperti pada pagi itu.

Keesokan harinya, saya kembali lagi. Kali ini tidak menggunakan kendaraan pribadi. Dari rumah, saya berangkat naik taksi konvensional, pulang menggunakan layanan transportasi berbasis aplikasi.

Meskipun baru bisa sampai di kantor Imigrasi sudah lebih dari pukul delapan pagi, bukan tepat pukul 07.30 WIB atau sebelumnya, saya masih bisa mendapatkan nomor antrean. Nomor B – 102.

Nomor antrean. FOTO: Benny

Loh, kok bisa? Ternyata, sekarang sistem antrean di kantor itu berdasarkan batasan waktu, bukan kuota.

Jadi, nomor antrean tetap bisa diperoleh sepanjang pemohon datang antara pukul 07.30 dan 10.00 WIB. Tentunya setelah petugas di bagian informasi memastikan berkas yang dibawa sudah lengkap memenuhi persyaratan. Info antreannya bisa juga diakses via surabaya.imigrasi.go.id/infoantrian/

Karena tidak memilih jalur online, saya harus mengisi formulir data pemohon secara manual. Selain itu, harus menunggu lebih lama karena jumlah antrean walk-in lebih banyak ketimbang online. Kode nomor antreannya berbeda. Kode B untuk yang datang langsung sedangkan F bagi yang sudah mendaftar secara daring.

Saya menunggu sambil terkantuk-kantuk dan kelaparan hingga lebih dari enam jam. Syukurlah ruang tunggunya dilengkapi dengan pendingin ruangan. Sayangnya jumlah kursinya kurang banyak.

Menjelang pukul 2 siang, akhirnya nomor antrean saya dipanggil. Di dalam Ruang Pelayanan W.N.I yang mempunyai lebih dari 10 bilik, saya menjalani proses wawancara, pengambilan sidik jari, dan pemotretan yang berlangsung singkat, hanya sekitar 10 menit saja.

Setelah selesai, saya diberi surat pengantar ke Bank BNI untuk membayar biaya paspor 48 halaman dan jasa biometrik sebesar Rp355.000. Pembayaran saya lakukan keesokan harinya.

Saya sempat mengira paspor baru saya bakal selesai dalam waktu tiga hari setelah proses pemotretan dan pengambilan sidik jari. Apalagi ketika saya cek via situs web Imigrasi, pada hari Rabu (13/5) statusnya dinyatakan sudah selesai.

Namun, saat saya datang lagi pada hari Jumat, ternyata belum selesai. Menurut petugasnya, paspor saya baru bisa diambil pada hari Senin siang. Biar lebih pasti, saya memutuskan datang lagi sehari setelah waktu yang dijanjikan.

Akhirnya, pada hari Selasa (19 April 2016), paspor baru sudah berada di tangan saya.

Syukurlah saya memilih cara datang langsung. Seandainya tetap mengurus secara daring, paspor baru saya mungkin baru siap minggu depannya.

Oh ya, meskipun ukuran fisiknya sama dengan yang lama tetapi tampilan paspor baru yang saya terima memiliki desain berbeda.

Kini, sampulnya berwarna biru tosca dengan posisi tulisan Republik Indonesia dan lambang Garuda Pancasila berada di tengah. Sementara halaman-halaman di dalamnya dihiasi dengan gambar keanekaragaman budaya dan hayati khas Indonesia, seperti wayang, angklung, komodo, bekantan, ondel-ondel, Candi Borobudur, karapan sapi, dan lain-lain. Gambar-gambar itu ditampilkan penuh warna. Sangat menarik!

Namun, mengingat fungsi utama halaman-halaman itu sebagai tempat membubuhkan stempel imigrasi dan visa yang perlu terbaca jelas, mungkin akan lebih baik jika gambar-gambar itu ditampilkan dengan warna yang lebih tipis atau dalam bentuk sketsa. Bukan begitu? 🙂

Print Friendly, PDF & Email