Pelajaran (yang Terlewatkan) dari Kesuksesan RBT

Kesuksesan penjualan (atau mungkin tepatnya penyewaan, karena hanya berlaku selama sejumlah hari tertentu saja) ring-back tone (RBT) di Indonesia jelas tak terbantahkan. Banyak yang menyebutnya sangat fenomenal, luar biasa. Bahkan kehadiran RBT dianggap sebagai peluang bisnis baru yang sangat menggiurkan bagi para pelaku industri musik di Tanah Air pada umumnya. Angka penjualan CD dan kaset yang disebut-sebut semakin turun dan peredaran MP3 tidak resmi secara gratis lewat Internet menjadi pembenaran yang kuat bagi banyak pihak untuk semakin menekuni bisnis RBT.

Para penyanyi pun semakin tidak malu-malu mengakui alasan utama mereka belakangan ini lebih suka merilis karya baru dalam bentuk single ketimbang album. Yaitu, untuk dipasarkan sebagai RBT atau nada sambung. Meskipun terkesan agak berlebihan, tapi bisa dibilang semua itu sah-sah saja. Wajarlah jika orang-orang jadi lebih berkonsentrasi pada sesuatu yang dianggap paling menghasilkan duit. Apalagi ketika hal itu dilakukan atas nama demi kelangsungan hidup industri musik Indonesia.

Namun, di sisi lain, akan jauh lebih baik jika mereka bisa mempertimbangkan untuk tidak hanya menggantungkan nasib industri musik Indonesia kepada RBT begitu saja. Apalagi suatu saat masa keemasan RBT pasti akan memudar. Bahkan tanda-tandanya sudah mulai tampak sejak kini. Lihat saja. Sudah mulai ada pihak yang banting harga biaya berlangganan, bikin paket hemat beli satu dapat dua, hingga pemaksaan berlangganan baik langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh operator seluler ataupun pihak terkait lainnya.

Sudah saatnya berbagai pihak terkait memikirkan kembali nasib penjualan album musik Indonesia agar kembali berjaya tanpa harus tergantung pada RBT. Caranya? Strateginya? Tidak perlu jauh-jauh.

Dari kesuksesan RBT itu saja, saya melihat banyak hal dan fakta yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga dalam menyusun strategi yang inovatif bagi perkembangan bisnis musik Indonesia. Dan semua itu rasanya bukan sesuatu yang baru, tapi mungkin selama ini banyak yang lupa atau terlewatkan. Apa saja?

Berikut ini beberapa di antaranya:

  1. Batas Daya Beli.
    Selama ini banyak yang menduga bahwa salah satu faktor utama seretnya penjualan album orisinal karena daya beli yang rendah dari masyarakat kita. Apalagi jika melihat album bajakan yang notabene dijual dengan harga lebih murah, masih terus beredar di pasaran. Namun kesuksesan penjualan RBT menepis dugaan itu. Ternyata RBT bisa laris manis, bahkan penjualannya mencapai triliunan! Padahal uang yang harus dikeluarkan pelanggan untuk berlangganan satu RBT (dengan kualitas suara lebih buruk dari suara radio AM) selama 30 hari rata-rata 9.000 rupiah. Bandingkan dengan harga kebanyakan CD album penyanyi musik Indonesia berisi 10 lagu yang berada di kisaran harga Rp35.000 – 40.000. Dari situ bisa dilihat bahwa ternyata banyak orang gampang mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu dengan harga di bawah 10.000 rupiah. Ini adalah semacam batas psikologis. Jadi, daripada menjual CD berisi 10 lagu (bahkan ada yang tega atau mungkin nekat hanya ngasih dua lagu) seharga 40.000 rupiah, mending rilislah CD berisi satu lagu (single) orisinal dengan kisaran harga 5.000 – 9.000 rupiah per keping. Saya yakin bisa lebih laku tuh, apalagi kalau dapat bonus RBT gratis…
  2. Kemudahan dan Ketersediaan.
    Selama ini, jika ingin membeli kaset atau CD, umumnya kita harus ke toko khusus yang kebanyakan lokasinya ada di dalam mal. Di luar pusat belanja memang ada, tapi hanya sedikit dan bahkan semakin berkurang. Bagaimana proses berlangganan RBT? Apakah begitu juga? Sepertinya tidak. Cukup lewat SMS atau situs web, langsung diproses. Singkatnya, mudah. Bisa di mana saja dan kapan saja. Rupanya kemudahan seperti itu disukai banyak orang. Bisakah hal itu diterapkan dalam pemasaran kaset dan CD? Seharusnya tidak sulit! Sekarang saja kita sudah bisa membeli CD di sebuah jaringan restoran ayam goreng, tapi masih sebatas beberapa nama tertentu saja. Tentu saja itu tidak cukup. Terobosan itu masih bisa dikembangkan dengan menambah kanal penjualan di berbagai tempat keramaian lainnya. Bahkan kalau perlu ada layanan pesan antar. Sementara soal penjualan lagu orisinal via internet juga sudah dilakukan beberapa situs web tertentu milik operator seluler dalam negeri. Menarik, tapi di situ sepertinya masih ada keribetan seputar DRM (digital rights management) dan juga soal proses pengunduhannya (download) yang butuh biaya GPRS tersendiri. Untuk lebih menjangkau banyak calon pembeli, mungkin perlu juga dipasang banyak vending machine khusus untuk penjualan lagu orisinal digital di berbagai tempat keramaian seperti kampus, minimarket, ATM, dan bahkan bandara. Semangatnya adalah memudahkan orang untuk melakukan pembelian lagu, CD, dan kaset orisinal di mana saja, tidak harus datang ke mal.
  3. Untuk Dipamerkan.
    Salah satu hal yang sering dianggap tidak masuk akal dari cerita kesuksesan penjualan RBT di Indonesia adalah ternyata banyak orang rela mengeluarkan uang untuk membayar biaya nada sambung yang notabene hanya didengarkan oleh orang lain yang meneleponnya, bukan dirinya sendiri. Jika diperhatikan, sepertinya di situ ada unsur ingin memamerkan kepada orang lain. RBT dijadikan sarana memamerkan identitas diri di telinga orang lain. Nah, kenapa hal semacam itu tidak diambil sebagai pelajaran untuk meningkatkan angka penjualan kaset dan CD? Misalnya, meluncurkan sebuah album dengan iming-iming hadiah yang bisa dipamerkan dan dibanggakan kepada teman-teman. Hadiah itu bisa berupa tanda tangan asli sang artis, kesempatan foto bareng, dan juga gratis RBT eksklusif yang hanya bisa didapatkan oleh pembeli album orisinal. Agar terasa makin eksklusif ketika didengarkan, RBT istimewa itu perlu diawali dengan semacam pengumuman bagi yang si penelepon bahwa, “Anda sedang mendengarkan RBT khusus untuk pembeli album orisinal.” Yang lebih seru lagi jika yang membacakan pengumuman itu adalah artis terkait. Misalnya, Agnes Monica. Wah, mau!

Bagaimana? Punya pendapat lain?

Tulisan saya ini dimuat pertama kali di Yahoo Indonesia OMG pada 30 Juni 2010

Print Friendly, PDF & Email