Musics

Musisi Indonesia, Yuk Lebih Mencintai Bahasa Indonesia

Kita sering mendengar anak-anak kecil, juga orang dewasa, dengan mudah menyenandungkan potongan lirik dari lagu yang sedang mengetop. Lirik lagu rasanya lebih mudah dihafal ketimbang isi buku pelajaran di sekolah atau kampus dahulu. Bukan begitu?

Dari lirik lagu juga, tidak jarang kita mengenal kata-kata tertentu yang terkesan baru atau asing, padahal sebenarnya sudah lama ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari sejumlah lagu KLa Project, misalnya, sebagian dari kita (termasuk saya) mengenal kata-kata seperti “terpuruk” (lagu “Terpurukku di Sini”), “nelangsa” (“Tak Bisa ke Lain Hati”), dan “romansa” (“Romansa”).

Tidak hanya lagu berbahasa Indonesia, yang berbahasa asing juga pengaruhnya tidak kalah hebat. Lihatlah, belakangan ini tiba-tiba banyak yang bisa berbahasa Korea menyanyikan potongan lirik lagu “Gangnam Style” dari PSY.

Lirik lagu memang bisa menjadi sarana efektif untuk mengenalkan atau membuat orang tertarik belajar bahasa dengan cara yang menyenangkan. Namun, sayangnya, di sisi lain ada hal yang cukup memprihatinkan, khususnya menyangkut lagu Indonesia yang dibawakan oleh para musisi Tanah Air. Apa itu?

Kalau didengarkan lebih jelas, terdapat cukup banyak lirik dalam lagu-lagu Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Kekeliruan demikian akan semakin tampak jelas dalam isi buklet lirik lagu yang biasanya disertakan dalam album. Termasuk juga adanya bahasa Indonesia dan bahasa asing yang campur aduk dalam sebuah lagu — entah itu judul atau liriknya. Jika terus berlangsung, hal tersebut tentunya akan dapat mengganggu perkembangan bahasa Indonesia.

Beberapa lagu terkenal berikut ini bisa jadi contoh berbagai bentuk kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia oleh para musisi Indonesia.
Continue reading…

Pelajaran (yang Terlewatkan) dari Kesuksesan RBT

Kesuksesan penjualan (atau mungkin tepatnya penyewaan, karena hanya berlaku selama sejumlah hari tertentu saja) ring-back tone (RBT) di Indonesia jelas tak terbantahkan. Banyak yang menyebutnya sangat fenomenal, luar biasa. Bahkan kehadiran RBT dianggap sebagai peluang bisnis baru yang sangat menggiurkan bagi para pelaku industri musik di Tanah Air pada umumnya. Angka penjualan CD dan kaset yang disebut-sebut semakin turun dan peredaran MP3 tidak resmi secara gratis lewat Internet menjadi pembenaran yang kuat bagi banyak pihak untuk semakin menekuni bisnis RBT.

Para penyanyi pun semakin tidak malu-malu mengakui alasan utama mereka belakangan ini lebih suka merilis karya baru dalam bentuk single ketimbang album. Yaitu, untuk dipasarkan sebagai RBT atau nada sambung. Meskipun terkesan agak berlebihan, tapi bisa dibilang semua itu sah-sah saja. Wajarlah jika orang-orang jadi lebih berkonsentrasi pada sesuatu yang dianggap paling menghasilkan duit. Apalagi ketika hal itu dilakukan atas nama demi kelangsungan hidup industri musik Indonesia.

Namun, di sisi lain, akan jauh lebih baik jika mereka bisa mempertimbangkan untuk tidak hanya menggantungkan nasib industri musik Indonesia kepada RBT begitu saja. Apalagi suatu saat masa keemasan RBT pasti akan memudar. Bahkan tanda-tandanya sudah mulai tampak sejak kini. Lihat saja. Sudah mulai ada pihak yang banting harga biaya berlangganan, bikin paket hemat beli satu dapat dua, hingga pemaksaan berlangganan baik langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh operator seluler ataupun pihak terkait lainnya.

Sudah saatnya berbagai pihak terkait memikirkan kembali nasib penjualan album musik Indonesia agar kembali berjaya tanpa harus tergantung pada RBT. Caranya? Strateginya? Tidak perlu jauh-jauh.

Dari kesuksesan RBT itu saja, saya melihat banyak hal dan fakta yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga dalam menyusun strategi yang inovatif bagi perkembangan bisnis musik Indonesia. Dan semua itu rasanya bukan sesuatu yang baru, tapi mungkin selama ini banyak yang lupa atau terlewatkan. Apa saja?
Continue reading…

Nasib Musik Indonesia di Batik Air

Ketika pertama kali mendengar kabar bahwa maskapai penerbangan Batik Air akan menyajikan inflight entertainment atau hiburan semasa terbang bagi penumpangnya, saya langsung penasaran. Bukan, bukan karena saya kekurangan hiburan.

Inflight Entertainment Batik Air

Saya penasaran dan tertarik ingin mencoba langsung fasilitas di Batik Air itu karena, setahu saya, selama ini Garuda Indonesia menjadi satu-satunya maskapai penerbangan Indonesia yang mempunyai hiburan semasa terbang. Itu pun tidak tersedia dalam semua penerbangan. Penerbangannya yang menggunakan pesawat tipe ATR 72-600 dan Bombardier CRJ1000 NextGen, misalnya.

Apakah Batik Air dapat menyajikan menu hiburan selama penerbangan lebih baik dari yang ditawarkan oleh Garuda Indonesia? Itulah yang saya ingin ketahui. Khususnya, menyangkut nasib konten musik Indonesia di dalamnya.
Continue reading…

Nasib Musik Indonesia di Garuda Indonesia

Belum lama ini, dalam penerbangan ke Jakarta dengan Garuda Indonesia, saya teringat dengan tulisan lama saya tentang nasib lagu Indonesia di kanal hiburan maskapai asing.

Mumpung ingat, saya lantas jadi ingin tahu juga, bagaimana dengan nasib musik Indonesia di penerbangan domestik maskapai kebanggan Tanah Air itu.

Secara logika, seharusnya lebih baik daripada yang tersedia dalam penerbangan milik maskapai asing. Saya pun menelusuri menu yang ada dan berharap menemukan banyak jejak musik Indonesia di dalamnya.

Awalnya, pada saluran Musik, saya menemukan dua kanal yang menawarkan apa yang saya cari. Keduanya adalah “Musik Pop Indonesia” dan “Lagu Indonesia Favorit”.
Continue reading…

Nasib Lagu Indonesia di Kanal Hiburan Maskapai Asing

Dalam penerbangan belum lama ini dengan sebuah maskapai penerbangan asal Hongkong, iseng-iseng saya menelusuri satu per satu isi berbagai kanal hiburan semasa terbang (in-flight entertainment). Hitung-hitung sambil menghabiskan waktu, mengingat durasi perjalanan memakan waktu hampir lima jam.

Saat sedang melihat-lihat menu hiburan yang ditawarkan, tidak disangka saya menemukan foto Ruth Sahanaya, penyanyi senior Indonesia, terpampang di salah satu kanal musiknya. Tepatnya di kategori Radio. Awalnya saya merasa senang sekaligus bangga melihat keberadaan penyanyi Indonesia di kanal hiburan itu.

Apalagi tidak hanya fotonya yang ada tapi juga dua lagunya — bersama lagu Indonesia lainnya ditambah dengan beberapa lagu dari negara tetangga. Namun rasa bangga itu berkurang dan bercampur rasa prihatin begitu saya menyadari bahwa kanal musik lagu-lagu Indonesia itu diberi label “Malay Hits”.

Padahal di daftar putarnya, jumlah lagu Malaysia dan Singapura jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lagu Indonesia yang ada di kategori itu. Dari 28 lagu yang tersedia, lagu Indonesia ada 18 buah. Sehingga seharusnya akan lebih pantas jika label yang disematkan adalah “Indo Hits” atau “Indonesia Hits”, misalnya.

Apakah penggabungan dalam label “Malay Hits” itu karena dianggap sama-sama berakar pada bahasa Melayu? Bisa saja. Tapi dalam hal ini, alasan itu sepertinya kurang pas.
Continue reading…

Penonton Duduk dan Penonton Berdiri

Dalam beberapa konser yang sempat saya datangi belakangan ini, terlihat sejumlah orang lebih suka menonton sambil duduk, meskipun pihak penyelenggara tidak menyediakan kursi bagi penonton. Lantas, mereka duduk di mana? Di lantai.

Ada yang mengambil tempat di belakang, tetapi tidak sedikit juga berada di barisan depan.

Cukup sampai di situ? Tidak.

Rupanya mereka yang duduk itu ingin penonton lain juga harus ikut seperti mereka. Akibatnya, setiap kali terlihat ada yang berdiri, selalu terdengar hardikan dari arah penonton yang duduk. Bahkan ketika musisi sudah di atas panggung, mereka tetap berteriak dan ribut sendiri menyuruh penonton lain untuk ikut duduk di lantai.

Mungkin bagi mereka, penampilan musisi di atas panggung tidak sepenting urusan itu. Pokoknya, semua penonton harus duduk meskipun, sekali lagi, penyelenggara pertunjukan tidak menyediakan kursi.

Situasi serupa juga saya jumpai dalam sebuah pertunjukan di sebuah festival musik belum lama ini. Saat itu, selain tidak tersedia kursi, panggung pertunjukannya pun terbilang cukup tinggi, sekitar 1,5-2 meter.
Continue reading…