Tadi pagi dapat kabar nenekku (dari pihak mama) telah meninggal sekitar jam 8 pagi waktu Gorontalo, setelah beberapa jam sebelumnya -katanya- sudah menunjukkan ‘tanda-tanda’ bahwa waktunya tidak lama lagi. 🙁 😥
Asal tahu saja, ketika dapat kabar kalau beliau nafasnya sudah tidak beraturan, aku sempat gedar-gedor rumah salah satu omku yang tinggal dekat rumah lantaran tidak bisa dihubungi lewat telepon. Teleponnya dimatikan. Untungnya, setelah sekitar satu jam ‘berjuang’, akhirnya si om dapat dibangunkan agar dia bisa mengetahui keadaan terakhir.
Sedikit mengenang nenekku yang oleh para cucunya biasa dipanggil “apu” itu, aku jadi ingat dulu pas kecil cukup sering dikirimi masakan olehnya. Yang paling aku ingat adalah masakan ikan yang enak (namanya lupa). Nenekku itu juga tergolong sabar dalam menghadapi cucu-cucunya, termasuk yang nakal banget sekalipun. Terakhir pas aku pulang dan bertemu dengannya, ia terlihat masih cukup sehat. Masih kuat untuk berjalan dan setiap orang pamitan pulang, ia selalu ingin mengantar sampai depan pintu rumah. Sayang, tidak lama kemudian terderngar kabar ia sempat terjatuh sehingga harus berbaring terus. Kejadian itu membuat kondisinya jadi sangat menurun. Sehari sebelum meninggal, para keluarga dan kerabat dekat sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-88.
Yang cukup melegakan, seperti yang diceritakan kepadaku, ia terlihat dapat menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang sambil dibacakan paritta (semacam ‘doa’ dalam Agama Buddha) oleh para anggota keluarga. Sekedar informasi, dalam ajaran Agama Buddha, kondisi pada saat menjelang kematian seseorang memang sangat penting untuk menentukan keadaan kelahirannya yang berikut. Dengan kondisi yang tenang dan damai seperti itu serta didukung dengan segala perbuatan baik beliau semasa hidupnya, semoga beliau dapat terlahir kembali dalam keadaan dan kondisi bahagia serta menyenangkan. Sadhu… sadhu… sadhu.