Screening Reaction “How to Train Your Dragon” 59 Minute Footage
Begitulah nama lengkap acara yang saya datangi Minggu pagi kemarin di Sutos XXI Surabaya. Semacam acara nonton film bareng gratis? Ya. π
Yang menarik dan berbeda jika dibandingkan dengan acara nonton film lain, film How to Train Your Dragon 3D yang dihadirkan dalam acara kemarin oleh Paramount Pictures perwakilan Indonesia sebagai penyelenggara bukan dalam bentuk full movie, melainkan versi footage berdurasi sekitar 59 menit. Jarang-jarang kan ada acara nonton bareng footage atau film versi yang belum selesai diedit? Apalagi melihatnya di layar bioskop besar dengan memakai kacamata 3D. π
Namanya juga footage, selain durasinya (mungkin) lebih singkat dari versi utuhnya nanti, isinya tidak hanya cuplikan adegan yang sudah ‘jadi’ tapi juga ada adegan-adegan yang belum selesai diedit. Mulai dari latar depan dan belakang yang masih kosong, gambar yang masih agak kasar dan kurang detail, hingga gambar adegan yang masih berbentuk sketsa atau coretan hitam putih. Sebuah tontonan menarik bagi yang ingin tahu perbedaan gambar antar tahap dalam pembuatan film animasi.
Satu hal lagi yang bikin beda. Tidak seperti film 3D lain yang masuk Indonesia selama ini, footage yang diputar kemarin dilengkapi pula dengan teks dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, teksnya yang ikut-ikutan jadi terlihat 3D itu malah mengganggu kenyamanan menikmati efek 3D pada setiap adegannya.
Sementara soal cerita yang diusung film How to Train Your Dragon itu sendiri terkesan cukup menarik. Diangkat dari sebuah novel anak-anak karya Cressida Cowell dengan sejumlah perubahan di sana-sini, tokoh utama film ini adalah seorang remaja bangsa Viking bernama Hiccup (disuarakan oleh Jay Baruchel). Seperti remaja pada umumnya, Hiccup juga mengalami masalah komunikasi dengan sang ayah, Stoick (Gerard Butler). Sebenarnya Stoick mengharapkan anaknya menjadi seorang pemimpin yang tangguh agar bisa melindungi desa mereka dari serangan kawanan naga. Alih-alih menjadi seorang pembunuh naga, diam-diam Hiccup malah berteman dengan Toothless, seekor naga dari jenis Night Fury. Belakangan, persahabatan itu terungkap. Apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana nasib si Toothless? Sepertinya hal itu baru bisa diketahui dengan pasti saat versi utuhnya ditayangkan di bioskop tanah air mulai 30 Maret 2010 mendatang atau masih sekitar dua bulan lagi.
By the way, kalau diperhatikan sekilas tampang si Toothless agak mirip dengan dengan tampang karakter Stitch dari film Lilo & Stitch (2002) ya? Hmmm… Siapa meniru siapa? Setelah saya telusuri, eh rupanya karena faktor Chris Sanders, sang sutradara kedua film itu. π
Oh ya, terima kasih kepada Ibu Nelly M. Panigoro dan Fani “JazzLova” atas undangannya, juga Micha Jusuf atas promosinya! π
aku disitu juga, hehe. duduk di H π
@fahmi!, yahh… coba kalo tahu kamu juga datang kan bisa kopdar π
sip..sip..
Iri.. iri.. iri….. iri…..
Anan.. anan.. anan… anan… π
woooooogh mantab pak π saya blom pernah kayak anda π
This is one of the best films so far in this prolific genre and it has been made with passion rather than thrown together to cash-in on the thirst for these films, right now. I would urge all ages to see this film in 3D as the textures are extraordinary and you can’t help but be charmed by it all.
lucu pelem nyaaaaa…. pengen toothless buat peliharaan dirumah… tampak enak buat di unyel2 π
you’re in point of fact a good webmaster. The web site loading
pace is amazing. It seems that you’re doing
any unique trick. Furthermore, The contents are masterpiece.
you have performed a excellent job in this subject!