Kisah Kasih Wonder Woman di Zaman Perang Dunia

Setelah Batman v Superman dan Suicide Squad yang mengecewakan, sebenarnya saya gak mau berharap terlalu banyak dari film Wonder Woman yang juga rilisan DC Comics. Tetapi, ternyata film arahan Patty Jenkins yang mulai diputar sejak 31 Mei 2017 lalu di Indonesia ini agak berbeda jika dibandingkan kedua film tadi itu.

Diawali dengan suguhan pemandangan indah lanskap sebagian kota Paris, terutama area sekitar Museum Louvre. Kemudian tampak sosok Diana Prince alias Wonder Woman (Gal Galdot) yang bekerja di tempat itu. Ia baru saja menerima kiriman paket berisi fotonya saat terlibat dalam Perang Dunia I. Foto itu kemudian membawa ingatannya kembali ke kenangan kisah kasihnya di masa silam.

Kasih? Ya, kenangan yang tersaji tidak hanya seputar kisah masa kecilnya di pulau Themyscira sebagai anak dari Ratu Hippolyta (Connie Nielsen), kepala suku Amazons yang semuanya cewek. Kemunculan tiba-tiba seorang pilot sekaligus mata-mata bernama Steve Trevor dan pasukan tentara Jerman yang mengejarnya, yang entah mengapa bisa menembus kabut yang selama ini menyembunyikan pulau itu dari dunia luar, mengubah perjalanan hidup Diana. Termasuk dalam urusan asmara.

Mirip dengan foto yang dikirim oleh Bruce Wayne. Beda warna… PHOTO: Warner Bros.

Dalam pertempuran di pantai, suku Amazons berhasil mengatasi serangan pasukan Jerman dengan aksi yang mengagumkan tetapi harus kehilangan Jendral Antiope (Robin Wright) yang tertembak peluru lawan dalam melindungi sang keponakannya, Diana. Mereka kemudian mengorek keterangan dari Steve mengenai apa sesungguhnya yang terjadi di luar sana dengan menggunakan Laso Kebenaran, agar tidak dibohongi.

Terpengaruh (dan terpesona) dengan cerita soal perang dunia dan mengira semua itu disebabkan oleh dewa perang Ares, Diana lantas memutuskan berlayar meninggalkan pulau bersama Steve dengan bermodal Laso Kebenaran dan juga pedang “godkiller” yang disebut sebagai peninggalan dewa Zeus. Tujuannya adalah untuk menemukan dan melenyapkan Ares. Sebuah rahasia besar menyangkut dirinya, yang tidak diceritakan oleh sang ibu, ikut membayangi kepergiannya.

Tiba di London, kisah Diana alias Wonder Woman dengan segala keluguannya saat menghadapi segala hal baru di luar Themyscira pun bermula. Mulai dari ekspresinya ketika mencoba es krim untuk pertama kalinya dan bertemu teman-teman Steve yang serba nyentrik dan aneh, hingga saat berganti puluhan macam baju untuk menemukan jenis pakaian yang cocok. Semua itu, untunglah, sangat menghibur. Oh ya, perlu dicatat, penampilan Diana saat keluar dari ruang ganti dengan setelan celana panjang, jas, dan topi bowler serta memakai kacamata menjadi bagian yang paling memesona dalam parade busana itu.

Penampilan Diana berkacamata dengan jas dan topi. PHOTO: Warner Bros.

Kebosanan menghadapi jalan cerita yang terasa lambat seperti menonton film drama biasa dan kegundahan menanti rentetan adegan aksi dan pertarungan Diana sebagai Wonder Woman bisa lumayan teratasi dengan rangkaian adegan-adegan itu.

Rangkaian aksi Wonder Woman yang sesungguhnya baru mulai muncul saat dia turun langsung ke medan perang untuk mencoba mengakhiri pertempuran yang sedang berlangsung dan mencegah Jendral Erich Ludendorff (Danny Huston) menyebarluaskan gas beracun berbahaya ciptaan Isabel “Doctor Poison” Maru (Elena Anaya).

Awalnya saya menduga aksi Wonder Woman yang menarik bakal terjadi ketika dia berhadapan langsung dengan Ludendorff. Kenyataannya tidak demikian. Justru yang mengesankan adalah adegan-adegan saat dia berjumpalitan dalam pertempuran melawan para tentara musuh di daerah perang tak bertuan. Puncaknya, waktu dia meloncat menghancurkan sebuah bangunan menara dengan menjadikan lempengan logam yang dipegang oleh Steve dan kawan-kawannya sebagai landasan bertumpu.

Meskipun awalnya meragukan, tetapi dugaan Diana bahwa Ares berada di balik perang dunia yang sedang berlangsung itu terbukti tidak salah. Namun, Ludendorff bukanlah Ares. Tidak heran jika cukup mudah bagi Wonder Woman untuk mengalahkannya. Sementara Ares sendiri ternyata selama ini menyaru sebagai Sir Patrick Morgan (David Thewlis), salah seorang atasan dari Steve.

PHOTO: Warner Bros.

Ketika akhirnya harus berduel dengan Ares, terkuaklah rahasia besar menyangkut Diana yang selama ini ditutup-tutupi oleh Ratu Hippolyta. Yaitu, dia adalah anaknya dewa Zeus dan merupakan “godkiller” yang sebenarnya.

Pertarungan antara Wonder Woman dan Ares di penghujung film seharusnya bisa menjadi sebuah bagian yang paling menarik seandainya saja tidak terlalu didominasi oleh ledakan dan adu kekuatan sihir. Sayangnya juga kisah kasih Diana dengan Steve di film ini harus berakhir menyedihkan.

Secara keseluruhan, film Wonder Woman ini cukup memuaskan meskipun alurnya terasa berjalan lambat. Bisa dibilang sebagai langkah maju film superhero DC karena tampil lebih menarik dari Suicide Squad dan Superman v Batman.

Film ini gak sekadar fokus pada adegan pertempuran tetapi juga pada cerita dan dramanya, meskipun balutan humornya masih kalah dengan film-film superheronya Marvel.

Oh ya, di akhir film terlihat Diana berkirim surel ke Bruce Wayne atas kiriman fotonya. Adegan ini tampaknya menjadi semacam penghubung ke film Justice League yang bakal dirilis pada bulan November 2017 mendatang. Semoga film itu bisa tampil lebih baik, gak malah mengecewakan.