Kisah Tentang (Ayahnya) Ahok?

Awalnya, saya mengira film A Man Called Ahok ini akan benar-benar mengisahkan segala hal tentang Ahok dari kecil hingga dewasa. Ternyata, sayangnya, tidak demikian.

Dari awal hingga kira-kira 60 menit berlalu, film ini lebih banyak bercerita soal Kim Nam, ayahnya Ahok, yang diperankan oleh Danny Sumargo. Mulai dari karakternya yang suka menolong orang hingga kesulitan ekonomi dan oknum pejabat tengil yang harus dihadapinya. Meskipun agak loncat-loncat, kisahnya itu sebenarnya cukup menarik, bukannya tidak menarik.

Namun, hal tersebut membuat fokus film ini terhadap Ahok seperti teralihkan. Tidak hanya sesaat tetapi lebih dari separuh film. Akan beda situasinya jika, misalnya, penggambaran kisah sang ayah itu semuanya diperlihatkan dari kacamata Ahok kecil. Pembacaan narasi oleh Daniel Mananta tidak banyak membantu merangkaikan semua hal itu agar selaras dengan judul film.

Akibatnya, begitu alur film mulai lebih fokus tentang Ahok di 40 menit terakhir, semua sudah terlambat. Karakter yang seharusnya jadi utama terlanjur kurang menonjol. Apalagi cerita tentang perjalanan karier Ahok kurang detail, tanggung. Apalagi Daniel Mananta yang memerankan Ahok juga tampak kurang berhasil mengimbangi permainan apik dari pemeran lain, terutama Kim Nam tua (Chew Kin Wah) dan oknum pejabat tengil (Donny Damara).

Di samping itu, sayangnya, kehadiran nama-nama terkenal lainnya seperti Ferry Salim dan Ria Irawan seperti kurang dimaksimalkan perannya. Padahal sepotong adegan Aida Nurmala sebagai pedagang daging di pasar saja sudah cukup mencuri perhatian daripada tokoh Buniarti Ningsih, ibu Ahok, muda (Eriska Rein) ketika berada dalam satu bingkai adegan.

Bayang-bayang film Laskar Pelangi sebagai sama-sama film berlatar belakang kehidupan di Belitung Timur sangat terasa dalam film ini. Lihat saja adegan Ahok kecil bersepeda di jalan sepi di pinggiran kota. Begitu juga suasana persiapan pawai yang dihadirkan di ujung film yang disutradarai oleh Putrama Tuta ini. Apakah memang harus dibuat mirip seperti itu?

Walaupun di sana-sini serba tanggung, tetapi film ini masih terbilang lumayan. Bahkan sebenarnya memiliki modal kisah dan karakter kuat untuk dirajut dan dikembangkan lebih baik. Tentunya dengan pemilihan pemeran yang lebih sesuai juga.

Misalnya, mungkin akan lebih menarik jika Denny Sumargo dan Ferry Salim bertukar peran. Saya juga membayangkan seandainya Nicholas Saputra yang dipasang memerankan Ahok mungkin lebih pas.

Mungkin.