Books

Rahasia Badan Rahasia di Balik Benteng Digital

[rate 4.0]

digital fortress

Meskipun merupakan novel pertama Dan Brown yang diterbitkan jauh sebelum The Da Vinci Code, novel edisi Bahasa Indonesia cetakan Mei 2006 dari Digital Fortress (1998) ini tetap menarik untuk dibaca. Dengan mengusung setting dunia teknologi yang tergolong jarang digunakan dalam sebuah novel drama, Digital Fortress menawarkan kisah penuh ketegangan dan konflik kepentingan. Ya, bagi yang tidak terbiasa berada dalam lingkungan komputer dan internet bersiaplah untuk masuk ke sebuah dunia lain yang sarat dengan istilah-istilah asing. Cerita yang diusung novel ini memang kental dengan istilah dalam dunia teknologi. Buat yang tidak terbiasa mungkin akan terasa berat membosankan. Untunglah Dan Brown masih menyisakan celah untuk urusan cinta, politik, kehormatan, dan kekuasaan.

Semua dimulai dari sebuah akhir pekan penuh kejutan bagi Susan Fletcher. Pagi-pagi David Becker, kekasihnya, dengan alasan ada urusan penting, secara mendadak menunda rencana kencan romantis perayaan enam bulan pertemuan mereka. Belum hilang dari keterkejutannya dengan sikap David, kembali cewek berusia 38 tahun itu terheran-heran ketika ditelepon Komandan Strathmore, atasannya, untuk segera ke kantor karena ada urusan darurat. Tidak biasanya ada kerjaan penting bagi dirinya di akhir pekan. Susan mungkin tidak mengira bahwa semua itu hanyalah awal dari berbagai rentetan peristiwa yang akan menjadi bagian paling menegangkan dalam hidupnya sebagai Kepala Bagian Kriptografi NSA (National Security Agency).
Continue reading…

elektra@kokom.com

Dee

Apakah e-mail elektra@kokom.com yang tertulis pada halaman 86 dari Supernova: Petir benar-benar ada atau aktif? Semalam saya udah ngecek domain kokom dot com ternyata milik seseorang di Jakarta! πŸ™„

Begitulah pertanyaan gw kepada Dee dalam acara β€œDrive N’ Jive’s BookAholic with Dewi Lestari” yang digelar pada Minggu 27 Maret 2005 kemarin di House of Sampoerna, Surabaya.

Bagaimana tanggapan Dee? “Yang ngasih ide pakai e-mail itu kakak saya. Lucu juga sih. Khas Sunda banget. Kokom-dot-kom… kayak ce-cep atau lainnya. Pas sudah siap cetak sebenarnya saya pengen beli domain itu tetapi kayaknya udah diambil orang. Orang Jakarta itu mungkin. Tapi e-mail itu tetap saya masukkan. Abis lucu sih…,” ungkap Dee sambil tertawa lepas.

*gedubrak* 😯 Pengakuan yang polos dari seorang Dee. :mrgreen: Padahal ‘kan e-mail itu secara tidak langsung ikut populer seiring dengan larisnya buku Supernova: Petir. Bisa dimanfaatin orang iseng tuh. Gw sih nyaranin untuk di cetakan berikutnya agar e-mail itu diganti aja! πŸ˜‰ Saat itu sih, Dee mengiyakan. Semoga gak lupa aja! πŸ˜‰

Ada jawaban dari Dee yang menarik saat menjawab pertanyaan dari peserta lain yang bertanya soal spiritualismenya Dee. Detilnya gw gak ingat, tetapi intinya Dee bilang kalo yang penting tuh bukan ngurus seputar simbol-simbol keagamaan. Lebih luas dari itu. Gw setuju! πŸ™‚

Oh ya, saat nungguin buku-buku Supernova milik istri gw ditandatangani Dee, gw sempat bertanya soal kapan buku Supernova dibikin filmnya. “Kayaknya belum deh. ‘Kan sekarang baru sampai keping 39. Beda dengan Harry Potter, Supernova kan ceritanya linear,” jawab penulis yang tahun ini bakal ngerilis buku kumpulan prosa bertajuk “Filosofi Kopi”.

Yah, mesti nunggu berapa tahun lagi ya biar nyampe keping 99? πŸ™„ Pastinya masih lama πŸ™ Buku Supernova: Partikel aja dijadualin baru keluar tahun depan. Padahal penasaran juga entar siapa yang bakal jadi Rubben dan Diva! He he he 😈 :mrgreen:

UPDATE:
Ups, gw lupa nyantumin data kepemilikan dari domain kokom.com saat ini. :mrgreen: Ini dia:
Continue reading…

Ketersediaan Bacaan di Tempat Nongkrong

Sering nongkrong di cafe atau sejenis kedai kopi / roti moderen? Apa yang biasa kamu lakukan ketika berada di sana? (tentunya selain minum dan makan :P) Apakah lebih senang ngobrol, ngegosip, atau membaca? 😈

Gw dan istri cenderung memilih yang terakhir, membaca! 😎 Bacaannya bisa apa aja. Bahkan seingat gw, dulu pas masih kuliah kita berdua sempat nongkrong di Cafe Excelso – Plaza Surabaya sambil baca catatan kuliah buat ujian besoknya! :mrgreen: :music:

Belakangan ini, nampaknya kesenangan membaca sambil nongkrong mulai terlayani oleh sejumlah pengelola cafe dengan tersedianya majalah dan atau surat kabar di tempat yang mereka kelola. Hanya sayangnya, hal ini belum begitu menjadi perhatian utama oleh setiap pengelola atau pemilik. Terbukti dari beragamnya tingkat ketersediaan bacaan pada masing-masing cafe. Mulai dari yang tergolong serius menyediakan sederet bacaan menarik dan terbaru sampai yang hanya sekedar asal ada bacaan saja. 😐

Khusus di Surabaya, gw iseng ngamati soal ketersediaan bacaan pada sejumlah cafe yang gw sempat nongkrongin dalam kurun waktu kira-kira 6 bulanan belakangan ini. Adapun tempat-tempat nongkrong yang gw maksud itu adalah Oh La La Cafe (Plaza Tunjungan 2 & SPI), Wingdome (Citywalk), Cinnzeo (Plaza Tunjungan 3), RBT (Plaza Tunjungan 3), Excelso Cafe (Plaza Tunjungan 4), Starbucks (Plaza Tunjungan 4), dan Coffee Bean & Tea Leaf (Plaza Tunjungan 3). :music: Mana yang paling oke? 😈

Dari semua itu, yang gak terlihat nyediain bacaan hanyalah Excelso Cafe (Plaza Tunjungan 4)! πŸ˜› Padahal yang lainnya rata-rata menyediakan…

Namun di antara tempat yang tersedia bacaan, nampaknya yang paling menyedihkan adalah Starbucks (Plaza Tunjungan 4)! πŸ˜› Kenapa?
Continue reading…

Super Bookstore Toga Mas yang Terlalu PEDE

Rabu kemarin, teman gw cerita kalo bentar lagi di Surabaya bakal hadir toko buku baru di Go Skate, Surabaya! Gw terpana. Hah? di Go Skate? 😯 Gak salah? Iya, bahkan ada cafenya segala, kata teman gw itu lagi. Ya udah, gw percaya deh… (meskipun dalam hati, gak bisa kebayang kok bisa milih Go Skate… secara gedung itu tergolong kumuh dan kurang nyaman gitu loh… :roll:).

Beberapa hari kemudian, terlihat sejumlah spanduk soal toko buku itu. Eh, ternyata bener juga soal toko buku tadi :P… Yang kebayang dalam otak gw, kayaknya toko bukunya bakal dibikin senyaman dan sebagus mungkin nih biar sebanding dengan ‘perjuangan’ para pengunjungnya yang harus ke Gedung Go Skate… πŸ˜‰

Akhirnya, bareng Ady ‘HRFM’, semalam gw cabut ke toko buku yang punya nama lengkap Super Bookstore Toga Mas itu. Apalagi kebetulan katanya ada acara dialog bareng I Made Wiryana, seorang pakar Linux yang sedang berlibur dari kuliahnya di Jerman. Lumayan… Sekali dayung, dua tiga benua terlampauilah… :mrgreen:

Begitu masuk, langsung kelihatan kalau toko buku baru ini menempati satu lantai (lantai 2) sepenuhnya. Wah, gede juga. Tapi kok hawanya terasa panas ya? πŸ™„ Ups, ternyata toko segede itu hanya mengusung puluhan kipas angin sebagai ‘pendingin’ ruangan! Tak ada AC!!! πŸ‘Ώ πŸ˜₯ Waduh, plis deh! Iih, PEDE juga pemiliknya! 😯 Jadi penasaran, apa sih sebenarnya yang diandalkan?!!

Mungkin koleksi bukunya yang diandalkan? Okelah, mari kita lihat-lihat deh…:twisted: Begitu mulai lihat-lihat buku yang dipajang, sepertinya ada yang aneh dan tidak biasa nih… Gw baru sadar, ternyata di tempat itu pengelompokan buku diatur berdasarkan penerbit bukan per kategori seperti yang dilakukan di toko buku lain. Mungkin konsepnya mau meniru seperti di department store macam Matahari atau Rimo. Tetapi, itu kan pakaian di mana sudah banyak orang yang memang brandminded. Namun, kalau diterapkan dalam jualan buku? Hmm, gw rasa sih belum saatnya. Apalagi warna dan model rak bukunya serta penataannya sendiri gak menarik. πŸ˜›

Selain membingungkan, juga nampaknya pihak Toga Mas sendiri belum siap. Lihat saja, Ady nanya bukunya Kiyosaki aja, lama banget petugasnya nyari. Bayangin, petugasnya aja bingung nyari buku yang harusnya cukup populer, gimana kalo yang nyari itu pengunjung?!! πŸ™„ πŸ˜›

Bener-bener PEDE deh! Good luck deh! Yang jelas, gw malas deh kalo mo ke sana lagi… πŸ˜‰

*pengen nyambit teman gw tadi, karena promonya jauh dari kenyataan* 😈

UPDATE:
Untuk yang mau menulis komentar, akan lebih baik jika membaca komentar yang ini dan ini lebih dulu. πŸ™‚
Perhatikan juga bahwa ini adalah tulisan tahun 2004. Tentu situasi dan kondisinya berbeda dengan tahun sekarang.

Terima kasih dan selamat berkomentar πŸ™‚

(Sekedar) Berfoto Hitam Putih di Dolly

Dolly Hitam Putih

Hitam putih memang biasanya dipilih dalam membuat rangkaian foto yang bercerita atau essay photo. Konon, hitam putih bisa lebih kuat dalam bercerita, tanpa terganggu dengan godaan berbagai macam warna lain. Seharusnya, tak salah seorang fotografer bernama Trisnadi memilih hitam putih untuk menampilkan foto-fotonya soal prostitusi, khususnya di lokalisasi Dolly (salah satu lokalisasi di Indonesia yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara) Surabaya, yang dirangkum dalam buku berjudul “Dolly Hitam Putih Prostitusi”. πŸ˜‰

Membuka halaman demi halaman buku setebal 72 halaman ini akan terkesan kalau sang fotografer tergolong cukup dekat dengan lingkungan beserta penghuninya yang sedang coba diceritakannya lewat rangkaian foto-foto hitam putih dan sejumlah puisi karya dari Dorothea RH. Kedekatan dengan objek yang difoto biasanya jadi salah satu kunci sukses dalam menghasilkan foto esai. Sang objek tidak akan malu-malu dalam berekspresi secara natural dan normal ketika difoto. Seharusnya ini merupakan modal yang sangat bagus…

Seharusnya pula buku yang diterbitkan GagasMedia ini bisa disebut sebagai suatu terobosan dan alternatif di tengah serbuan buku-buku bergenre chicklit atau liputan berbau kehidupan seksual ala Jakarta Undercover-nya Emka. Terobosan karena terbilang jarang ada buku lokal dengan menu utama berupa karya fotografi, hitam putih pula. Seharusnya bisa tampil menggigit… 😎

Sayangnya… tidak begitu. 😐 Sayangnya foto-foto yang ditampilkan dalam buku ini -meskipun hitam putih- terkesan kurang kuat, sehingga tidak bisa bercerita banyak tentang Dolly dan penghuninya dalam keseharian secara utuh. Hanya sepotong-sepotong. Apalagi beberapa kali ada pemuatan foto yang hampir sama. Apalagi banyak yang ditampilkan dalam ukuran kecil…

Dan satu hal yang sangat mengganggu dari sudut sebuah karya foto adalah adanya coretan sepidol berwarna perak untuk menutupi wajah-wajah orang yang ada dalam foto dan itu dilakukan pada hampir semua foto yang ditampilkan! Sangat mengganggu! 😑

Mungkin pencoretan itu punya niat baik, dalam hal melindungi privacy objek yang di dalam foto itu. Mungkin begitu, tetapi untuk sebuah buku yang menawarkan foto-foto sebagai menu utama, jelas sangat mengganggu. Kalau memang niatnya melindungi privacy objek atau orang-orang di lingkungan, seharusnya sudah sejak pemotretan hal itu dilakukan. Sebagai seorang fotografer yang sudah berpengalaman, seharusnya Trisnadi sangat tahu akan teknik-teknik untuk itu. Menyamarkan identitas orang yang dipotret tanpa merusak nilai dan cerita sebuah foto hitam putih… πŸ˜‰

Di samping itu, pemuatan sebuah tulisan mengenai curhat provokator berjudul “Seorang Provokator dan Seorang Pelacur” dalam buku ini terasa dipaksakan untuk dikaitkan dengan soal prostitusi. Apakah tidak ada tulisan lain ya? Haruskah memuatnya? 😈

Oh ya, kalau hanya lihat dari covernya, sepertinya pembeli buku ini tidak akan menyangka kalau ternyata isinya berupa foto-foto dan puisi. Bukan tulisan berbentuk liputan soal kegiatan prostitusi di Dolly… πŸ™„

(thanks buat Lucky yang sudi ‘meminjamkan’ buku ini… [puas loe?! :P] Thanks ya! :P)