Kembalinya Identitas dan Supremasi Sang Mantan Agen Rahasia

Bourne SupremacyThey don’t make mistakes. They don’t do random. There is always an objective. Always a target.

Untunglah sempat nonton film The Bourne Supremacy ini di 21 Cineplex sebelum keburu digeser film lain yang sudah antri. Karena setelah gw menontonnya Minggu lalu bareng istri dan Rezi di Studio 21, PTC – Supermal, Surabaya, beberapa hari kemudian film ini udah diganti film lain. Kemarin gw liat di koran, tinggal satu bioskop aja yang muter filmnya si Matt Damon itu… ๐Ÿ˜ฏ

Untungnya lagi, ketemu film sekuel dari The Bourne Identity ini jadi cukup menyegarkan setelah sehari sebelumnya menonton Collateral yang tidak seberapa asik ๐Ÿ˜ˆ

Dibanding seri pertamanya, penggarapan kali ini lebih keren, lebih seru. Serunya pun udah dimulai dari awal film. Tidak ada ritual bertele-tele ataupun mendayu-dayu. Sudah gitu, masih dibumbui dengan sejumlah intrik menarik sepanjang film. Dan masih ditambah selipan humor segar dan adegan-adegan lucu, yang jauh dari kategori konyol tetapi karena kecerdikan si Bourne sebagai orang yang pernah terlatih sebagai agen rahasia tangguh anggota operasi Treadstone. Apalagi Bourne diceritakan makin pulih ingatannya (juga identitasnya akan terkuak) sehingga makin tangguh aja dan makin menunjukkan kesupremasiannya… Eh, tiba-tiba gw teringat dengan James Bond! ๐Ÿ˜‰

Meskipun genrenya sealiran dengan serial agen rahasia 007 (yang sudah agak membosankan) itu, meskipun cukup mudah ditebaknya siapa sesungguhnya sang dalang yang telah mefitnah Bourne, meskipun warna-warna yang tampil dalam film ini cenderung pucat dan terkesan seperti film udah agak lawas (paling kentara pas adegan di pantai, warna biru lautnya pucat banget. Gak jelas hal ini disengaja atau gak, yang jelas agak ganggu! :twisted:), meskipun pas si Nicky (Julia Stiles) sedang di’interogasi’ oleh Bourne soal apa sebenarnya yang sedang terjadi -anehnya- si Nicky terlihat ketakutan, bahkan sampai nangis segala (padahal selama ini kerjaannya si Nicky adalah agen rahasianya C.I.A juga yang menyamar jadi mahasiswa dan tugas utamanya menjadi semacam penghubung dan psikiaternya agen rahasia lain. Masak hanya ditanyai sesama agen aja udah ketakutan gitu? ๐Ÿ™„ :twisted:)… namun segala ‘kesederhanaan’ itu dapat tertutupi dengan kematangan aktingnya Damon dan apiknya penggarapan adegan per adegan dalam film ini… ๐Ÿ˜‰ Ini dia baru namanya film bergenre action thriller! :mrgreen: Buat gw, film ini RECOMMENDED! ๐Ÿ™‚

Get some rest, Pam. You look tired. –Jason Bourne

(Sekedar) Berfoto Hitam Putih di Dolly

Dolly Hitam Putih

Hitam putih memang biasanya dipilih dalam membuat rangkaian foto yang bercerita atau essay photo. Konon, hitam putih bisa lebih kuat dalam bercerita, tanpa terganggu dengan godaan berbagai macam warna lain. Seharusnya, tak salah seorang fotografer bernama Trisnadi memilih hitam putih untuk menampilkan foto-fotonya soal prostitusi, khususnya di lokalisasi Dolly (salah satu lokalisasi di Indonesia yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara) Surabaya, yang dirangkum dalam buku berjudul “Dolly Hitam Putih Prostitusi”. ๐Ÿ˜‰

Membuka halaman demi halaman buku setebal 72 halaman ini akan terkesan kalau sang fotografer tergolong cukup dekat dengan lingkungan beserta penghuninya yang sedang coba diceritakannya lewat rangkaian foto-foto hitam putih dan sejumlah puisi karya dari Dorothea RH. Kedekatan dengan objek yang difoto biasanya jadi salah satu kunci sukses dalam menghasilkan foto esai. Sang objek tidak akan malu-malu dalam berekspresi secara natural dan normal ketika difoto. Seharusnya ini merupakan modal yang sangat bagus…

Seharusnya pula buku yang diterbitkan GagasMedia ini bisa disebut sebagai suatu terobosan dan alternatif di tengah serbuan buku-buku bergenre chicklit atau liputan berbau kehidupan seksual ala Jakarta Undercover-nya Emka. Terobosan karena terbilang jarang ada buku lokal dengan menu utama berupa karya fotografi, hitam putih pula. Seharusnya bisa tampil menggigit… ๐Ÿ˜Ž

Sayangnya… tidak begitu. ๐Ÿ˜ Sayangnya foto-foto yang ditampilkan dalam buku ini -meskipun hitam putih- terkesan kurang kuat, sehingga tidak bisa bercerita banyak tentang Dolly dan penghuninya dalam keseharian secara utuh. Hanya sepotong-sepotong. Apalagi beberapa kali ada pemuatan foto yang hampir sama. Apalagi banyak yang ditampilkan dalam ukuran kecil…

Dan satu hal yang sangat mengganggu dari sudut sebuah karya foto adalah adanya coretan sepidol berwarna perak untuk menutupi wajah-wajah orang yang ada dalam foto dan itu dilakukan pada hampir semua foto yang ditampilkan! Sangat mengganggu! ๐Ÿ˜ก

Mungkin pencoretan itu punya niat baik, dalam hal melindungi privacy objek yang di dalam foto itu. Mungkin begitu, tetapi untuk sebuah buku yang menawarkan foto-foto sebagai menu utama, jelas sangat mengganggu. Kalau memang niatnya melindungi privacy objek atau orang-orang di lingkungan, seharusnya sudah sejak pemotretan hal itu dilakukan. Sebagai seorang fotografer yang sudah berpengalaman, seharusnya Trisnadi sangat tahu akan teknik-teknik untuk itu. Menyamarkan identitas orang yang dipotret tanpa merusak nilai dan cerita sebuah foto hitam putih… ๐Ÿ˜‰

Di samping itu, pemuatan sebuah tulisan mengenai curhat provokator berjudul “Seorang Provokator dan Seorang Pelacur” dalam buku ini terasa dipaksakan untuk dikaitkan dengan soal prostitusi. Apakah tidak ada tulisan lain ya? Haruskah memuatnya? ๐Ÿ˜ˆ

Oh ya, kalau hanya lihat dari covernya, sepertinya pembeli buku ini tidak akan menyangka kalau ternyata isinya berupa foto-foto dan puisi. Bukan tulisan berbentuk liputan soal kegiatan prostitusi di Dolly… ๐Ÿ™„

(thanks buat Lucky yang sudi ‘meminjamkan’ buku ini… [puas loe?! :P] Thanks ya! :P)