Meskipun didukung oleh banyak artis terkenal, namun sebenarnya kekuatan utama film Laskar Pelangi bukanlah itu. Bukan pada Lukman Sardi, Tora Sudiro, Cut Mini, Slamet Rahardjo, Ikranegara, Robbie Tumewu, Mathias Muchus, Rieke Diah Pitaloka, Alex Komang, atau Jajang C. Noer, tapi pada 10 anak-anak asli Belitung yang terpilih main di film yang diangkat dari novel berjudul sama milik Andrea Hirata ini. Merekalah bintang sesungguhnya film Laskar Pelangi.
Kepolosan dan keluguan anak-anak itu sudah mulai menarik perhatian sejak awal film. Berasal dari keluarga dengan latar belakang berbeda-beda, awal pertemuan mereka terjadi saat pendaftaran murid baru di SD Muhammadiyah Belitung, sebuah sekolah yang terancam ditutup karena kekurangan murid. Pada saat itu, kebanyakan orang tua di Belitung lebih memilih menyekolahkan anaknya di SDPN Timah yang bangunan dan fasilitasnya jauh lebih bagus.
Sepuluh anak dengan keunikan masing-masing itu adalah Ikal (Zulfanny), Mahar (Verrys Yamarno), Lintang (Verdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M.Syukur Ramadhan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri).
Sebagian besar senyum dan tawa yang muncul saat menonton film arahan Riri Riza ini lantaran tingkah laku dan percakapan di antara anak-anak itu yang terkesan lugu dan polos. Mulai dari adegan ketika Ikal terpaksa harus memakai sepatu berwarna pink ke sekolah, hebohnya kedatangan Harun pertama kali ke sekolah, sampai cara anak-anak itu memandang piala yang mereka raih. Begitu juga adegan saat Mahar yang sangat suka dengan seni membanggakan musik jazz kepada teman-temannya yang kemudian dibalas dengan tatapan bingung tak mengerti. Dan yang tak terlewatkan tentunya adalah saat Ikal begitu terpesona melihat kuku dan mata indah milik A Ling. Ekspresi yang ditampilkan Ikal sungguh mengundang tawa.
Sayangnya, rangkaian kejenakaan tersebut agak terganggu karena tambahan unsur komikal seperti bunga-bunga yang tiba-tiba berjatuhan di sekitar Ikal ketika terpesona dengan kuku indah A Ling. Begitu juga dengan berjatuhannya kaleng-kaleng di toko milik papanya A Ling waktu adegan Ikal merasa sangat sedih tidak bisa lagi bertemu dengan A Ling. Mungkin maksudnya ingin lebih dalam menggali tawa penonton, tapi penambahan unsur komikal seperti itu jadinya justru merusak suasana jenaka yang terbangun secara alami lewat ekspresinya Ikal.
Bisa jadi bagi sejumlah orang, unsur kejenakaan anak-anak itu menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sisi keharuan dalam film produksi Miles Films ini. Adegan ‘kepergian’ sosok pendidik yang dihormati dengan diperkuat ekspresi sedih Bu Muslimah (Cut Mini) dan ketika ada seorang anak pintar yang tiba-tiba tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena harus mengurusi adik-adiknya. Cukup mengharukan memang. Namun itu saja belum cukup untuk membuat Laskar Pelangi benar-benar menjadi film yang enak ditonton, baik bagi yang sudah berkali-kali membaca bukunya maupun yang belum sama sekali.
Masih ada beberapa hal yang cukup mengganggu kenikmatan menonton film ini. Tata cahaya kurang alami, misalnya, terlihat jelas saat Pak Harfan (Ikranagara) mengajar di dalam kelas. Dengan situasi dalam kelas di sebuah sekolah tua, pencahayaan yang tampak pada muka Pak terlihat sangat terang benderang seperti sedang disorot lampu ratusan watt. Pemandangan indah daerah Belitung juga seperti kurang maksimal digarap sebagai salah satu kekuatan film ini.
Kekurangjelasan pun terdapat di mana-mana. Salah satunya soal Flo (Marcella), murid perempuan pindahan dari SDPN Timah. Ketika baru pindah ke SD Muhammadiyah, Flo dilihatkan sebagai anak yang menonjol dengan tingkah laku dan pemikirannya yang agak aneh hingga bisa mempengaruhi anak-anak lain pergi ke sebuah pulau misterius untuk bertemu seorang dukun. Namun setelah itu, tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Flo jadi murid yang biasa-biasa saja. Seputar kepergian mereka ke pulau itu secara sembunyi-sembunyi juga terasa agak janggal, seperti hanya sebagai tempelan saja.
Durasi film yang sekitar 120 menit seharusnya bukan jadi halangan utama untuk bertutur lebih jelas kepada penonton film. Seharusnya berbagai kekurangjelasan yang mungkin sulit, tidak bisa, tidak mampu, atau tidak mau dijelaskan lewat gambar, bisa diatasi lewat kehadiran narasi. Sayangnya, narasi yang dibacakan oleh Lukman Sardi (berperan sebagai Ikal dewasa) hanya terdengar di awal dan akhir film saja. Itu pun tidak banyak membantu menjelaskan hal-hal yang tidak tampak di layar.
Hal lain yang agak mengurangi kenyamanan menonton adalah soal bahasa. Karena cukup banyak dialog dalam film ini menggunakan Bahasa Melayu, seharusnya ketika diputar di bioskop umum pihak pembuat film menyediakan teks Bahasa Indonesia agar penonton secara umum bisa lebih nyaman menikmati adegan demi adegan.
Yang tidak kalah mengusik adalah ketika di akhir film diceritakan Ikal kembali ke Belitung setelah bertahun-tahun pergi dari situ. Anehnya, ia terlihat hanya bertemu dengan Lintang saja. Padahal katanya Ikal kepulangannya ingin berterima kasih kepada teman-temannya atas keberhasilannya mendapatkan beasiswa ke Prancis. Di mana teman-temannya yang lain? Apa kabar sekolah mereka tercinta dulu? Apa kabar Bu Muslimah? Bagaimana hubungan Bu Muslimah dengan Pak Mahmud (Tora Sudiro)? Tanpa ada keterangan apa-apa lagi, layar pun seperti buru-buru ditutup dengan flash back saat mereka nyanyi bersama di sekolah dulu.
Entah kenapa yang terasa adalah awalnya film ini berjalan agak lambat kemudian mendekati selesai justru seperti melompat-lompat ingin segera usai. Mungkinkah akan ada versi extended, atau director’s cut, atau bahkan remake dari film yang sebenarnya punya modal dasar untuk bisa tampil lebih menarik ini? Ditunggu. ๐
[rate 2.5]
(Thanks buat Pakerte atas traktiran menonton film ini.)
pengen nonton tapi belum sempat nih
Agak mubazir ya kelihatannya bintang-bintangnya?
kenapa film2 yg katanya bagus, kalo lo bahas di blog lo, selalu keliatan jelek? ckckc…
๐
Hmm, belum baca bukunya ya? Kelihatan hehehe.
Wah pa, kalau buku pertama aja belum di baca, apalagi menyimak buku yang lain,ada 2 lagi ditambah 1 yang akan terbit. Sutradaranya memang sudah maximal menyesuaikan dengan novelnya dan menurut saya sah sah aja.kalau arah cerita agak sedikit menyimpang. Memang kalau penonton bola kayaknya lebih jago dari pemainnya sendiri yang sudah kerja keras sedemikian rupa.
@Daus, untuk beberapa bintang terkenal yg hadir di film tsb bisa dibilang begitu ๐
@aRdho, saya hanya mencoba menilai apa adanya. Dan Anda baca di mana yang hanya bilang film tsb “BAGUS” saja? Bagaimana dgn review di Jawa Pos dan Kompas, misalnya? Sudah baca dengan jelas? ๐
@avianto, memang belum. dan itu menurut saya lbh baik memang belum membaca bukunya agar saya bisa menonton film tsb sebagai film. ๐
@azyu, apakah saya tadi mempertanyakan “arah cerita agak sedikit menyimpang”? Alinea yang mana?
Memang keliatan banget anda belum baca bukunya hehehehe.
Kalau anda ingin hal2 yg kurang jelas tersebut diperjelas, bisa2 isi seluruh bukunya harus dipindahkan ke film. Wah kalau begitu filmnya bisa sehari semalam, bukan dua jam seperti yang anda tonton di bioskop itu.
Anda cuma menonton filmnya saja kecewa. Kalau saja anda sudah membaca bukunya, saya yakin anda termasuk yg paling banyak protes karena isi bukunya jauh lebih seru dan detail daripada yg digambarkan di film.
Menurut saya sih sutradara dan penulis skenario sudah berusaha maksimal memasukkan bagian2 penting dalam bukunya ke dalam film. Kalau itu belum bisa memuaskan semua orang (yg sudah baca bukunya ataupun belum), ya namanya juga usaha. Setidaknya film ini jauh lebih baik daripada kebanyakan film Indonesia yg seangkatan dengannya.
@indie, apakah dari tadi saya kelihatan menutup-nutupi kalau saya belum baca bukunya? Baik, saya ulangi dan perjelas biar Anda puas. Ya, saya belum baca buku Laskar Pelangi. ๐
Anda sendiri apakah sudah baca dgn jelas dan lengkap posting saya di atas sblm berkomentar?
Kalau iya tentunya Anda paham bahwa yang saya maksud diperjelas bukan berarti “isi seluruh bukunya harus dipindahkan ke film” atau “filmnya bisa sehari semalam, bukan dua jam”.
Sedikit saya tambahkan, kalau masih kurang, bisa saja beberapa adegan kurang penting dikurangi durasinya. Misalnya, adegan si Mahar menyanyi.
menurut saya, satu-satunya korelasi antara buku dan film adalah sejauh mana atau seutuh apa ceritanya nyambung, gak ada urusan sama kualitas. kalo yang sudah baca bukunya, harapannya tentu visualisasi dalam konteks film yang harusnya gak kalah atau malah membuat kita lebih terkesima sebagai penonton, sekali lagi sebagai penonton, bukan sebagai pembaca buku. film tentunya punya segudang aspek yang bisa dinilai kualitasnya, terpisah dari bukunya.
saya belum nonton filmnya jadi belum bisa kasih penilaian
soal ending cerita, di bukunya memang hanya diceritakan bertemu dengan Lintang. ๐
Terbentur durasi kali om ?
bukannya belitong bukan belitung? ๐
kalo mo nonton film adaptasi (entah dari novel ato komik ato apapun deh), jangan coba2 dibandingin dengan sumbernya. Dari dulu ya kayak gitu… selalu ndak cocok. Bikin Ilfil…
Coba diapresiasi sebagai dunia yang berbeda. Saya setuju sih ama p’ Benny “…lbh baik memang belum membaca bukunya agar saya bisa menonton film tsb sebagai film.”
Ini perkara imajinasi kita sebagai pembaca yang liar banget & ga ada batasan versus eksekusi sutradara di lapangan dengan segala keterbatasan.
Filmnya lumayan lah … daripada sinetron sampah !
Acting coach film ini sungguh luar biasa! Akting ke-10 anak2 tersebut 100x lebih bagus dibandingkan akting aktris film termehek-mehek kita. Ada yg tau siapa nama acting coachnya?
setuju dengan tulisan di blog ini. Pas dengan apa yangs aya rasakan,.. kurang lebihnya dan keluhan2 nya
Baru aja nonton filmnya tadi malam. Menonton film ini aku bisa ngebayangin kalo diikutkan ke festival film luar negeri, gak malu-maluin. Walaupun cara bertuturnya belum selevel dgn “Children of Heaven”, pesan moral yg disampaikan LP tentang pendidikan, cukup fokus dan bisa di tangkap dengan mudah oleh penonton.
Memang ada bbrp hal yg mengganggu dmn Riri Reza berusaha merangkum isi buku ke dalam film, yang hasilnya adalah penggalan cerita yang tidak jelas – terutama untuk yang belum membaca bukunya – seperti adegan ke pulau malam hari ke pulau Buyan (dlm hal ini setuju dgn pak Benny). Juga dialog dgn bahasa Indonesia namun bercampur dengan bhs dan dialog Belitong yang kental shg banyak kalimat yg aku nggak ngerti. Alangkah lbh baiknya jika untuk beberapa dialog yg tidak jelas, diberikan subtitle. Aku juga merasa kurangnya pendalaman karakter tokoh2 lainnya seperti akiong, arai, dll, karena karakter yg jelas akan memudahkan penonton memahami adegan2 yg ada di film.
Bukunya sendiri memiliki kekurangan2, namun cara bertutur Andrea yang enak dalam menggambarkan masa kanak2 LP membuat pembaca lupa dgn kekurangan itu. Demikian juga dengan filmnya, di luar kekurangan disana-sini, film ini sangat menghibur dan memberikan penonton ‘sesuatu’ di benaknya usai menonton film ini. Smoga film ini memberi inspirasi sineas lainnya untuk membuat film-film yang bermutu.
tak ada gading yang tak retak, rasanya hambar melihat film tanpa membaca review dan kritik untuk film tersebut.
smoga jilid kedua bisa lebih lembut dan mengalir.
*opiniku saja, jangan jangan sengaja di buat seperti itu, hingga kita akan lengkap dengan gambaran mozaik yang ingin di tampilkan riri dengan melihat seluruh sekuel film LP.
Pingin nonton ๐
Nonton yuk?
appreciated …!!novel ke film pasti akan selalu kurang krn tiap orang punya imajinasi beda-beda, tawakal aja kenapa..?!
yang belum nonton…nonton dong, yang suka …bagus, yang belum baca..baca dong…!yang merasa kurang..coba bikin film sendiri..! peace.
nonton saja dulu habis itu baru baca novelnya. sama seperti cerita saya dulu jamannya ayat ayat cinta
salut sama film ini, dan emang filmnya menginspirasi banget
setuju dengan anda. film ini secara sinematik banyak kekurangannya. hanya saja skala penilaian saya agak beda dengan anda. kalau saya sampai ngasih 2 atau 2.5 itu pelem pasti udah jueeelek banget.
3/5 lah, baru ponten 6 alias pas-pasan.
review saya bisa dibaca di link.
Film terbaik yang pernah ada di Indonesia.
Tumben2nya ada film indonesia yg bikin saya bangga ๐ ! . Bener-bener inspiratif. Saya termasuk orang doyan ke bioskop, dan paling benci nonton film indonesia di bioskop, meski udah beberapa kali maksain nonton, koq ya gak berasa.. (kurang garam kali ye.. hehe ). Jadinya malah males..
Tapi ini bener2 beda, setelah nonton ada perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan, dan tidak pernah saya rasakan di film-film lain, bahkan sekelas hollywood (or bollywood hehe, ya iyalah mana pernah pilem luar bikin kita bangga atas negeri sendiri…). Jangan membandingkan dengan novel karena TIDAK ADA film yang bisa sama persis dgn novel, bahkan untuk kelas hollywood.
Nontonlah dengan hati (sekali lagi, dengan HATI !), dan anda akan menikmatinya… ๐
Gw bangga jadi Anak Indonesia !!!
Kimi
Makassar
Mencela memang mudah…
tapi bila Anda yang membuat & memproduseri kan belum tentu juga bisa sebagus film ini ๐
kalau menurut saya Filmnya lebih bagus daripada novelnya laskar pelangi, riri reza dan mira lesmana sangat cerdas membawa alur cerita kepada yang lebih realistis.
Dalam novel mahar menyanyikan lagu Tennese Waltz karya Anne Muray sedangkan dalam film mahar menyanyikan lagu seroja yang merupakan lagu melayu. ada juga lintang yang sudah pandai memakai rumus integral tanpa adanya perhitungan secara tertulis, perdebatan lintang dan drs zulfikar guru fisika teladan pn timah yang terlalu meninggi.
lagu begadang-2 dalam film memang merupakan lagu yang lagi ngetren dibelitong pada tahun itu.
sedangkan di film cerita lebih realistis dan natural.
Andrea terlalu berlebihan dalam menulis sebuah karya sastra tanpa disertai data-data yang benar.
Adanya beberapa bagian yang ditiadakan dalam film seperti trapani yang menjadi gila karena ketergantungan sama ibunya, societeit de limpai yang mengunjungi pulau lanun, tuk bayan tula. adalah merupakan hal yang wajar karena banyak hal-hal yang dianggap tidak mungkin dilakukan oleh anak seusia itu dan disisi lain dianggap sisi negatif seseorang sehingga tidak patut dipertontonkan atau di tiru
dan dalam hal ini pembaca laskar pelangi jangan terlalu berlebih-lebihan dalam membaca atau memuji laskar pelangi, andrea terlalu emosional dalam menulis. dan andrea pun mengakui kalau filmnya lebih bagus dari novelnya.
so bagi pembaca yang sekaligus menonton filmnya jangan kecewa terhadap filmnya. justru harus lebih kritis terhadap novelnyaโฆ
aku baru kemarin sore nonton LP,,cukup mengasikkan,ada unsur komedinya …so sad nya juga ada..memang si bagi kamu kamu yang sudah baca Novelnya pasti akan merasa ada sesuatu yang hilang dan terlewatkan,,Aku dah baca-selesai akhir puasa kemarin.untuk Aku pribadi film ini memberikan inspirasi dan motivasi yang besar untuk terus berjuang dan mengabdikan diri di dunia pendidikan,.
..catatan sy, ikal kurang kumel, di film dia seperti anak gedongan, necis ..rapi jali banget, tampangnya juga polos dan berface anak baik, padahal (baca di novel ke 3 edensor) ikal menyimpan kejahilan no 1 di dunia anak2 yg bandel. … Aling kaku, kaya layangan kurang dilekuk, jadi aga2 singit maennya. Aling seperti ucapan film misteri datang tak dijemput pulang tak diantar…. muncul ..untuk kemudian lenyap…bessssss
cuman mau comment………..
kalo pengen sesuai dengan yang ada di novelnya…..
2 jam lamanya film laskar pelangi ga bakalan cukup atau dari pagi sampai subuh pun ga cukup juga,…..
jadi harap maklum bossss……….
bagus….bagus kami melihat film ini luar biasa karena bisa membuat hati seorang pendidik semakin tertantang untuk memaksimalkan kemampuan yang ada demi kemajuan anak didiknya.
salut……….
benar-benar luar biasa.
Tidak ada film yang sempurna…. film ini bagus… tentu yang lebih bagus adalah kisah nyata di balik film ini, mereka sekarang dimana? jadi apa?
Maklum males baca novelnya…. he he…
duh pengen deh ntn laskar pelangi tp …………di pekanbaru blm ada………….
kurang lebih sih saya setuju dengan comment bang ben di atas, tapi secara pribadi saya puas dengan film ini, cukup menghibur, dan ini lebih baik daripada petualangan sherinanya Mira dan Riri sekitar 10 tahunan lalu, yang ini lebih jelas dan isinya lebih masuk akal, mungkin karena diangkat dari novel dan katanya emang dari pengalaman nyata ya…
nonton deh, dan ajak adik2/ponakan2/anak…ini satu media pembelajaran yang baik dan menyenangkan buat mereka, ponakan2 saya aja setelah menonton film ini jadi lebih bisa menghargai apa yang mereka punya, jadi lebih rajin ke sekolah (their mom always said : “laskar pelangi aja pada rajin sekolah, padahal sekolah nya jelek, gak ada ac, tapi mereka selalu semangat…kalian harusnya bisa lebih semangat dari mereka…” -and it always works for my nephews :P- )
dan saya juga setuju bahwa film ini membanggakan dan gak bakal malu2in kalo di bawa ke ajang internasional
btw, jadi pingin baca bukunya….lebih lengkap dan lebih detil ya…?
Kalau saya sich, karena tidak ahlinya dibidang film dan juga novel, maka konsentrasi saya adalah mengambil sebanyak-banyaknya manfaat dari nonton film tersebut. Misalnya, saya sudah nonton berkali-kali, dengan tujuan nonton berbeda-beda. Kemudian hasil nonton itu, harus menghasilkan uang. Maka, setelah beberapa kali nonton, kami kemas untuk pelatihan dan dialog khusus dengan beberapa keluarga yang bermasalah dengan anaknya atau orangtuanya yang bermasalah.
Bahkan salah satu rekomendasi untuk perusahaan, terutama untuk jabatan yang perlu keberanian pembuatan keputusan, sebaiknya mengambil orang-orang yang dimasa kecilnya punya pondasi kesulitan hidup, sebab mereka lebih berani membuat keputusan dibanding yang mulus-mulus saja.
wah.,.ternyata pemerhati juga ya,smpai detail2nya ngorekinya.,.
tapi di luar itu semua laskar pelangi tetap film yang bagus kan???
daripada film2 komedi seks n horor yang ga mutu!!!
Humbbb
Memank masih ada kekurangan disana-sini
Semogha saja dilain kesempatan, film2 yank lain bisa lebih baik dari pada Laskar Pelangi ini
Tidak ada yang sempurna didunia ini begitu juga dengan film laskar pelangi…tetapi pesan yang diberikan kepada penontonnya sangat bagus dan mendidik bagi kita semua, daripada film sex dan horor yang tidak memiliki nilai estetika sedikitpun untuk kita,by the way laskar pelangi is the best lah……..semoga lebih banyak lagi film2 lain sejenis yang akan dibuat oleh sineas2 kita.salut…..laskar pelangi
betul filem ini bener2x penuh dengan pembelajaran……, ngga bisa berkata apa2x lagi de, walaupun abis nonton terus baca novel ko aga’ berbeda tapi hal tersebut tidak mengurangi makna film LP (Laskar Pelangi) ini……
salut banget deh…………… kl bisa novelnya yang lain di filmkan juga dong………..
apakah film ini dibuat hanya bagi yang udah baca bukunya aja? maklum aja dong kalo orang hanya ingin nonton filmnya aja dan memberi komen sesuai apa yang dia lihat… (siapa tau dia gak punya waktu untuk baca buku setebel itu…)
jadi, kalo emang ada kekurangan2 yang dia temukan, yang udah baca bukunya jangan langsung menganggap orang itu tidak tahu apa2…
lihat film itu sebagai film, lihat buku sebagai buku…
Film ini sangat beruntung, karena membludaknya orang2 menonton bukan karena kwalitasnya, tapi karena tren. Tren karena bosannya publik pada suguhan film2 yg beredar, terutama sinetron yg menyuguhkan tema itu-itu saja, jadi ingin beda, sekali2 ingin nonton film bertema serius. Seandainya film ini beredar pada 5 atau 10 tahun yg lalu, pasti nasibnya sama, dengan film2nya alm Teguh Karya, sepi penonton. Kalau bicara kwalitas, tunggu dulu deh. Hal yang kecil2 saja, misalnya di film Nopember 1828, kostum pemainnya hingga kancing baju, adalah duplikasi produk tahun itu, bandingkan dengan film Laskar Pelangi, kaos yang digunakan adalah produk sekarang yang dibuat sedemikian lusuh (utk mengesan produk lama), padahal setting film itu kalau tdk salah tahun 1974, kaos kerah yang ada pada tahun itu adalah yang lehernya lebar, tak ada yang bermerek polo (gambar emblem kuda di sebelah kiri). Kaos oblong pun paling2 yang ada merek Swan atau Rider. Penggambaran kesederhanaan anak-anak sekolah, kesannya berlebihan, hingga tak rasional. Semiskin-miskinnya anak2 sekolahan waktu itu, para orang tua pasti menasihatkan pada anak-anak mereka utk membedakan baju yang dipakai ke sekolah dan bermain. Anak-anak pun pasti mandi (walau hanya pakai sabun cap tangan) tidak dekil seperti dalam film. Kejanggalan lain, ada seorang anak keturunan Cina, yang bersekolah di sekolah Islam, ini seolah-olah memberi gambaran bahwa masarakat cina bisa membaur. Mungkin betul, bagi orang cina yang beda keyakinan dengan orang muslim masih mau memasukkan kesekolah Islam, tapi ke sekolah Islam yang hamper roboh, mungkinkah? Apalagi ada sekolah umum yang layak yg tdk melarang anak keturunan cina ( cukup berada lagi) utk sekolah Pesan moralnya memang bagus, tapi kelewat dipaksakan dan didramatisir. Masih banyak kejanggalan di film ini, misalnya terselip iklan (mini)di suatu potongan koran yang mencantumkan uang Rp. 350.000, utk harga produknya (alangkah fantastisnya jumlah uang segitu dicantumkan dalam iklan mini pada tahun 70-an) atau tampak suatu buku cetak yang berjudul pelajaran Matematika. Anak SD pada saat itu pasti tdk mengerti Matematika, tapi yang dipelajari adalah ilmu berhitung. Jadi adegan cerdas tangkas, anak-anak SD pada tahun itu, walaupun sepintar apapun pasti melongo mendapat soal matematika (bukan berhitung, seperti yang didialogkan pada film itu). Sayang seribu sayang, animo dan antusias masarakat yang besar dalam menonton film2 yang serius dan bermutu, tidak mampu ditangkap oleh insan2 film utk menciptakan kreasi yang masuk akal dan logis. Tapi walau bagaimanapun, semangat dalam mengangkat tema2 serius menjadi suatu tontonan patut diacungi jempol, dengan catatan, penggambarannya jangan berlebihan.
taryan; dalam banyak hal saya setuju dengan taryan, bukunya jauh lebih amburadul, membingungkan dan sangat dilebih lebihkan, dan filmnya menurut saya memang jauh lebih bagus, walaupun banyak continuity link yang menurut saya terputus.
tinung; memang benar mas, banyak beberapa detail yang terlupakan oleh sutradara, sekali lagi kaitanya dengan kontinuity, seperti yang anda contohkan
seperti tinung saya menangkap cerita itu terjadi di tahun 74/78, dalam buku jauh lebih membingungkan mengenai urusan tahun, seperti misalnya ikal menyebut bahwa kiriman koran tertunda selama 32 tahun, tetapi ternyata kepala suku negara ini masih berwajah sama, 32 tahun kepemimpinan suharto berarti sekitar th 1997, kemudian 12 tahun setelah kemudian, ketika ikal wawancara utk beasiswa, pewawancara itu ganteng, perokok, punya prestasi internasional, dan mantan menteri, saya tebak itu adalah Ali Alatas, coba artinya tahun berapa?
Menurut saya versi novel jauh lebih membingungkan dan menyesatkan pembaca, apalagi filosofi ilmu yang membawakan diri sebagai narasi sebuah plot cerita.
dst ..
Dimana-mana kalo memasang Tora Sudiro sepertinya malah menggangu. Aktingnya sangat pas-pasan, memang lebih cocok menjadi pelawak daripada seorang aktor.