Mengulur Waktu Sambil Berburu Relikui Kematian

HP7

Ssttt… sebenarnya film Harry Potter & the Deathly Hallows: Part 1 ini sudah saya tonton beberapa minggu lalu, tapi baru sekarang saya sempat menyelesaikan tulisan soal itu. Jadi tulisan ini memang tergolong basbang sih… he he he 🙂

Setelah sempat terkantuk-kantuk saat menonton Harry Potter and the Half-Blood Prince, saya jadi kurang bersemangat untuk menyaksikan sekuel berikutnya dari Harry Potter. Apalagi melihat posisi sutradaranya masih tetap dipegang David Yates.

Tapi, godaan untuk melihat petualangan para penyihir remaja dalam Harry Potter & the Deathly Hallows: Part 1 tetap ada. Akhirnya, ketika ada kesempatan, saya menyempatkan diri untuk menontonnya di bioskop.

Untunglah, hasil garapan Yates kali ini terlihat jauh lebih baik. Selama berada dalam gedung bioskop hampir 2,5 jam, saya tidak terkantuk-kantuk lagi. Pasalnya, berbagai adegan menarik langsung dipasang di awal film. Mulai dari ekspresi Bill Nighy sebagai Rufus Scrimgeour yang malah terkesan agak lucu ketimbang serius, terbunuhnya seseorang dalam pertemuan antara Snape dan Voldemort beserta gerombolan Death Eaters, penggunaan ramuan Polyjuice untuk penyamaran sejumlah anggota Orde Phoenix demi keselamatan Harry Potter, hingga lagi-lagi ada yang kehilangan nyawa ketika rombongan Orde Phoenix diserang oleh Death Eaters. Kombinasi antara ketegangan, kelucuan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.

Oh ya, salah satu adegan di awal film saat Hermione terpaksa harus menghapus ingatan orang tuanya mengenai keberadaan dirinya juga terlihat cukup mengharukan. Apalagi baru di sekuel ini sosok ortu Hermione ditampilkan.

Ketika Harry, Ron, dan Hermione harus berpisah dengan Orde Phoenix saat mereka diserang Death Eaters di pesta pernikahan Bill dan Fleur, dimulailah rangkaian petualangan mereka bertiga. Dari sini, bagi penonton seperti saya yang belum membaca bukunya, petualangan mereka dalam mencari dan menghancurkan Horcrux jadi tampak seperti kumpulan potongan kisah yang berdiri sendiri-sendiri. Alurnya berjalan agak lambat, seperti sengaja mengulur waktu sehingga sempat terasa membosankan. Untunglah masih ada adegan dansa Harry dan Hermione yang cukup mengesankan.

Di sisi lain, saat Horcrux akhirnya berhasil mereka dapatkan, sekilas keadaannya mengingatkan pada petualangan Frodo dan kawannya mengawal sebuah cincin untuk dimusnahkan dalam The Lord of the Rings. Mirip dengan cincin yang dibawa Frodo, Horcrux juga dapat mempengaruhi emosi orang yang membawanya.

Tapi berbeda dengan Horcrux, relikui kematian yang menjadi judul sekuel kali ini justru baru mulai benar-benar dibahas belakangan mengenai sejarah dan keberadaannya. Terutama ketika mereka bertiga mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Xenophilius Lovegood, ayahnya Lena, mengenai simbol relikui kematian yang melambangkan tiga benda sihir legendaris itu.

Menjelang akhir film, ada beberapa adegan yang tampak agak mengganjal dalam benak kepala saya. Mulai dari Hermione yang lebih memilih menyamarkan wajah Harry jadi jelek ketimbang melawan anak buah Voldemort sehingga mereka bertiga akhirnya tertangkap dengan mudah hingga terbunuhnya Dobby oleh Bellatrix yang terkesan seperti dipaksakan.

Di samping itu, adegan penutup dari seri 1 ini yang memperlihatkan keberhasilan Voldemort mencuri tongkat sihir dari kuburan Dumbledore juga terasa kurang berkesan. Tidak meninggalkan rasa penasaran yang bisa membuat penonton seperti saya ingin segera menonton bagian ke-2 dari sekuel ini. Semoga bukan karena saya belum membaca bukunya.

Print Friendly, PDF & Email