Apa yang bisa dilakukan di Narita, Jepang jika punya waktu 10 jam? Itulah pertanyaan yang muncul ketika mengetahui penerbangan saya dari Indonesia menuju ke San Jose, Amerika Serikat untuk acara Mozilla Summit 2013 lalu harus singgah cukup lama di Narita International Airport.
Sayang sekali kan kalau waktu selama itu hanya dihabiskan menunggu di dalam bandara sambil terkantuk-kantuk? Sebagai persiapan, setelah dapat Visa Amerika, saya juga mengurus Visa Jepang yang jenis transit. Biayanya hanya 80 ribu Rupiah, tetapi hanya berlaku single entry atau sekali masuk saja.
Jadi, mau ngapain di Jepang?
Ada beberapa pilihan yang sempat terpikir. Mampir ke kota Tokyo, Sawara, atau Naritasan Shinshoji Temple. Akhirnya saya memilih ke Kuil Naritasan. Pertimbangannya, lokasinya tidak jauh dari bandara dan tarif kereta murah. Apalagi jika dibandingkan dengan perjalanan ke Tokyo, yang butuh waktu lebih dari satu jam dan tarif keretanya juga lebih mahal.
Dari Jakarta ke Narita, saya terbang menggunakan pesawat ANA Boeing 767-300. Berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) pukul 21:19 WIB, mendarat di Narita International Airport (NRT) pada pukul 7 pagi waktu setempat.
Dua jam kemudian saya naik kereta dari Bandara Narita dengan tujuan J.R. Narita Station. Biayanya terbilang murah. Kalau tidak salah ingat, 200 Yen. Keluar dari stasiun, suasana masih terlihat sepi meskipun sudah sekitar pukul 9. Udaranya juga masih sejuk, sinar matahari belum terlihat.
Di depan stasiun berderet taksi dengan supirnya yang berdasi namun saya memilih berjalan kaki karena seharusnya lokasi Naritasan tidak jauh dari situ. Jika berdasarkan petunjuk jalan, jaraknya sih hanya kurang dari 1 kilometer saja.
Pagi itu, di sepanjang jalan yang saya telusuri untuk menuju ke kuil, terlihat belum banyak toko-toko yang buka. Begitu juga di jalan bernama Omotesando yang suasananya khas itu, masih sepi.
Dalam perjalanan, beberapa kali saya menjumpai patung berbagai binatang berukuran kecil yang terpasang di pinggir jalan. Ada naga, ayam, babi, kura-kura, dan lain-lain. Unik.
Dari arah stasiun, kuil agama Buddha aliran Esoteris Shingon yang berusia lebih dari 1.000 tahun itu berada di sisi kiri jalan. Sebuah gerbang besar setinggi sekitar 15 meter menyambut di depan.
Begitu melangkah masuk, langsung terlihat halaman cukup luas dengan latar belakang yang asri penuh pohon dan tanaman dengan daun-daunnya nan hijau. Di sebelah kiri, tampak berdiri Korinkaku Hall yang merupakan bangunan untuk kantor kuil dan Kyakuden (ruang tamu).
Sebuah gerbang lagi (Niomon Gate) dan jembatan kecil, yang di kolam bawahnya terdapat banyak ikan dan kura-kura, perlu dilewati dulu sebelum sampai ke area utama yang lebih luas.
Luas, bersih, dan tenang. Itulah kesan yang langsung muncul ketika memasuki area utama. Meskipun sejumlah bangunan kuil dan pagoda tampak berdiri di berbagai sisi, tetapi halaman berlapis beton dan kerikil tetap terhampar luas. Di berbagai sudut terlihat orang-orang duduk santai di halaman. Sebagian di antara mereka adalah anak-anak yang sedang menggambar.
Gedung utama (Great Main Hall), dibangun pada tahun 1968, terletak di tengah. Ini termasuk bangunan cukup baru jika dibandingkan bangunan-bangunan lainnya. Three-storied Pagoda yang terletak di samping kirinya, misalnya, didirikan pada tahun 1712. Di dekat pagoda ada dua bangunan, Shotokutaishido Hall dan Shoro (Bell Tower). Bel di menara yang sudah ada sejak tahun 1701 itu biasanya dibunyikan tiga kali sehari.
Sementara itu, di sisi sebelah kanan gedung utama ada Shakado Hall (Buddha Hall) yang dibangun pada tahun 1858. Ini adalah gedung utama lama yang seluruhnya terbuat dari kayu Zelkova. Di sekeliling dinding kayu bagian luarnya terdapat relief buatan Matsumoto yang penyelesaiannya butuh waktu hingga sepuluh tahun. Relief mengenai 500 murid Sang Buddha itu dibuat berdasarkan gambar karya Kano Kasunobu.
Untuk menjaganya agar terhindar dari tangan-tangan jahil, rangkaian relief tersebut dipasangi kerangkeng. Pada bagian-bagian lain bangunan berusia ratusan tahun ini juga terlihat telah terpasang kerangka-kerangka dari besi untuk memperkuat kekukuhannya.
Jika ingin mendapatkan informasi lengkap mengenai kuil Naritasan Shinshoji ini, ada sejumlah pemandu sukarelawan yang siap mendampingi kita berkeliling sambil menjelaskan sejarah bangunan-bangunan yang ada di tempat itu. Bisa pula dengan meminta brosur panduannya di pusat informasi yang terletak di dekat Niomon Gate. Waktu itu, selain brosur, saya juga sempat minta cap atau stempel kuil di sepotong kertas sebagai kenang-kenangan.
Semakin siang, sinar matahari semakin terik. Sebenarnya di belakang gedung utama tadi masih ada beberapa bangunan lain dan taman yang belum sempat saya lihat. Namun karena saat itu sudah sekitar pukul 2 siang dan perut saya mulai keroncongan, maka saya memutuskan untuk segera kembali ke stasiun sekalian mampir makan siang. Mudah-mudahan lain kali bisa kembali lagi ke Naritasan untuk menuntaskan mengelilingi kompleks kuil secara keseluruhan.
Dalam perjalanan kembali ke stasiun, sebenarnya saya sempat ingin mencoba makan ramen tetapi akhirnya mampir di… McD. He he he…
Di gerai McD yang terletak hanya beberapa langkah dari stasiun Narita itu, saya membeli paket hemat yang terdiri dari burger, kentang, dan minuman seharga 150 Yen. Kalau dihitung-hitung kayaknya lebih murah daripada harga paket McD di Indonesia. Lumayan menghemat. 😀