Mendadak Jalan-jalan ke (Museum) Ubud

Akhir pekan lalu, tiba-tiba saya mendapat undangan jalan-jalan ke Ubud, Bali. Yang menarik, acaranya tidak hanya jalan-jalan ke berbagai tempat yang sudah umum menjadi tujuan wisata, tapi juga berkunjung ke sejumlah tempat lain yang terbilang istimewa. Tempat menginapnya pun tidak kalah istimewa. Bisa dibilang, ini adalah sebuah acara jalan-jalan yang cukup unik dan mengesankan.

Itulah gambaran mengenai apa yang saya dapatkan ketika diundang mengikuti acara “Marketeers goes to Museum“-nya The Marketeers di Ubud, Bali minggu lalu, 17-19 Juni 2011. Selain saya, masih ada beberapa peserta lain. Lengkapnya, rombongan #UbudTrip kali ini berjumlah 12 orang. Terdiri dari saya, Pitra, RaRa, Venus, Leonita Julian, Francisca Prandayani, Aldo Sianturi, Karmin Winarta, Handoko Hendroyono, Dicky Sukmana, M. Ario Adimas, dan Waizly (The Marketeers). Kami juga ditemani Bembi Dwi Indrio M, editor buku “UBUD: A Short History of an Art and Cultural Center in Bali” yang tinggal di Ubud tapi sering bolak-balik Ubud-Jakarta.

Foto bersama dengan tokoh Puri Saren Ubud

Di Ubud, kami diinapkan di Hotel Tjampuhan & Spa, sebuah hotel legendaris yang sudah ada sejak 1928. Seorang pelukis terkenal, Walter Spies, pernah tinggal di hotel yang bernuansa tradisional ini. Kamarnya masih ada sampai sekarang.

Seperti saya bilang di awal tadi, jalan-jalan di Ubud kali ini terbilang cukup unik. Acaranya tidak hanya sekadar makan di Bebek Bengil dan Murni’s Warung (restoran pertama di Ubud), menyaksikan kehidupan monyet di Monkey Forest, dan melihat persiapan sebuah upacara Ngaben saja, tapi juga berkunjung ke tempat-tempat istimewa seperti Pura Gunung Lebah, Puri Saren Ubud, Museum Puri Lukisan, hingga Museum Marketing 3.0 yang baru dibuka akhir bulan Mei 2011 lalu.

Foto bersama dengan tokoh Puri Saren Ubud

Di Puri Saren Ubud, kami berkesempatan bertemu dengan tiga tokoh terkemuka di Bali yang merupakan anak dari almarhum Tjokorda Gde Agung Sukawati (Last King of Ubud). Yaitu, Tjokorda Gde Putra Sukawati (CEO Tjampuhan Group), Tjokorda Gde Oka Sukawati (Bupati Gianyar), dan Tjokorda Gde Raka Sukawati (seniman serba, penulis tesis “Spiritual Marketing” di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana).

Kunjungan ke museum baru kami lakukan setelah makan siang di Bebek Bengil. Di Museum Puri Lukisan milik keluarga Puri Saren Ubud, kami berkeliling melihat-lihat ratusan koleksi lukisan dan juga patung yang tersebar di empat bangunan berbeda. Menurut cerita dari Mas Bembi, yang dibenarkan oleh penjaga museum, dulu Presiden Soekarno sering berkunjung ke tempat itu, bahkan sebelum museum tertua di Ubud tersebut diresmikan. Museum Puri Lukisan diresmikan pada tahun 1954.

Museum Puri Lukisan diresmikan pada tahun 1954

Sementara soal Museum Marketing 3.0, saya baru tahu bahwa ternyata museum itu berada di kompleks yang sama dengan Museum Puri Lukisan. Saya juga baru tahu bahwa ternyata bangunan fisik Museum Marketing 3.0 merupakan sumbangan dari keluarga Puri Saren Ubud dalam rangka melaksanakan pesan mendiang Tjokorda Gde Agung Sukawati untuk mengembangkan Museum Puri Lukisan dengan memuat perjalanan keluarganya dan juga cerita pemasaran brand “Ubud” ke dunia yang sudah dilakukan sejak tahun 1930an.

Museum Marketing 3.0

Begitu melangkahkan kaki memasuki museum yang baru diresmikan 27 Mei 2011 lalu tersebut, saya langsung merasakan atmosfer yang berbeda dibandingkan dengan museum sebelumnya. Atmosfer modern terasa kental mengemuka di berbagai sudut museum yang bernama lengkap “Museum Marketing 3.0: Inspired by Tjokorda Gde Agung Sukawati” itu, baik lewat interior ruangan yang minimalis maupun penggunaan peranti elektronik canggih untuk menampilkan tokoh dan brand yang dianggap mewakili penerapan konsep Marketing 3.0 seperti yang diperkenalkan oleh Philip Kotler bersama Hermawan Kartajaya dan Iwan Setiawan. Keberadaan sebuah bioskop mini dengan perangkat mutakhir turut memperkuat kesan modern pada museum yang terletak di jalan raya Ubud itu. Menarik! πŸ™‚

Museum Marketing 3.0. PHOTO: Benny Chandra

Namun kentalnya unsur modern yang diusung oleh Museum Marketing 3.0 bagaikan sekeping uang logam yang memiliki dua sisi berbeda. Di satu sisi, unsur modernnya menunjukkan visi ke depan dari museum soal konsep pemasaran 3.0 yang mengedepankan faktor human spirit, tapi di sisi lain membuatnya terkesan seakan kurang membumi. Terutama di mata orang awam seperti saya.

Museum Marketing 3.0. PHOTO: Benny Chandra

Menurut saya, akan lebih baik jika unsur modernnya dipadukan dengan unsur lokal juga. Mungkin bisa dimulai dengan hal sederhana. Misalnya, menampilkan para tokoh dan merek yang dianggap sesuai dengan konsep Marketing 3.0 dalam bentuk lukisan oleh seniman lokal.

Selanjutnya, secara bertahap menambah deretan tokoh dan brand dari dalam negeri yang ditampilkan di museum itu. Misalnya, Piyu yang belum lama ini sempat berkeliling ke sejumlah kota di Indonesia untuk membahas soal konsep Piyu 3.0. πŸ™‚

Dalam kesempatan berdiskusi singkat pada saat itu, saya juga sempat mengusulkan adanya semacam tagline atau slogan khas yang dilekatkan pada nama Museum Marketing 3.0 untuk meminimalkan kesalahpahaman orang awam ketika pertama kali mendengar nama museum tersebut.

Museum Marketing 3.0. PHOTO: Benny Chandra

Bagaimana pendapat Anda? πŸ™‚ *nyamar jadi Pak Hermawan… he he he*