Kemarin sore, sambil minum kopi, gw sempat tertawa geli ketika membaca sebuah artikel singkat di Kompas yang berjudul “Tendangan Milis“. Habis, lucu sih! π
Kalau diperhatikan lebih jauh, artikel yang terpasang di rubrik Teknologi Informasi-nya Kompas itu sepertinya merupakan tanggapan terhadap isi salah satu posting di milis ITB bersubjek “Kompas: Obyektivitas Pers yang Hilang” (yang kemudian di blow up detikcom).
Wajar-wajar saja kalau pihak Kompas menulis tanggapan atas sebuah posting di milis yang kebetulan menyebut-nyebut nama institusi mereka. Hanya saja yang menarik dari artikel itu adalah nuansanya itu loh… Emosional, lucu, dan memprihatinkan (kalau tidak mau disebut norak). He he he π
Lihat saja. Alih-alih mempelajari dan menginvestigasi kebenaran isi posting tersebut, nampaknya Kompas -melalui artikel singkat itu- malah lebih suka mempertanyakan kredibilitas milis! π
Masalahnya, sering kali milis ini menjadi tidak memiliki kredibilitas dalam memberikan analisis dan persoalan yang sedang dihadapi.
Satu hal yang tidak dimiliki oleh milis, betapa pun akuratnya informasi yang dimilikinya, adalah kredibilitas. Dan percayalah, kredibilitas ini tidak bisa tegak hanya dalam beberapa hari saja, apalagi hanya melalui milis, yang fungsinya menampung aspirasi para anggotanya sendiri.
Di samping soal kredibilitas, bagian lain dari artikel itu juga menyorot soal “orang-orang yang merahasiakan identitas dirinya dengan berbagai tujuan” dan ditambah menuduh mereka “menjadi monyet”… π―
SEMUA orang bisa menjadi monyet di jaringan internet, menjadi pepatah yang menggambarkan betapa kemajuan teknologi komunikasi informasi ini menjadi sangat rawan dalam diseminasi informasi. Apalagi untuk Indonesia, di tengah pertumbuhan jaringan internet yang pesat dan suasana demokrasi yang meriah, apa saja bisa terjadi.
Apalagi, milis sering kali ditulis oleh orang-orang yang merahasiakan identitas dirinya dengan berbagai tujuan, yang hanya diketahui oleh penulis anonim tersebut. Ketika penulis milis ini anonim, segera saja ia menjadi monyet yang dengan nakalnya mempermainkan orang-orang.
Entah pertimbangan apa yang digunakan sehingga dengan mudahnya langsung memutuskan bahwa milis tidak punya kredibilitas. Apakah hanya karena ada posting di milis itu yang membuat pihak Kompas tersinggung lantas milis menjadi tidak punya kredibilitas?
Coba dipikirkan, apa yang dapat membuat sebuah media massa tradisional seperti Kompas punya kredibilitas atau tidak, dapat dipercaya atau tidak? Apakah karena formatnya? Ketebalannya? Berwarna atau hitam putih? Ataukah karena kualitas tulisan dan objektivitas penulisnya? Begitu juga dengan milis dan isi di dalamnya.
Dan terbilang kontradiktif jika di satu sisi mempertanyakan kredibilitas pihak lain, sementara Kompas sendiri terus memuat artikel-artikel yang patut dipertanyakan kualitas dan objektivitasnya, seperti artikel “Tendangan Milis” tadi, profil dan wawancara dengan Anne Ahira di rubrik Persona beberapa waktu lalu.
Menyangkut soal anonim, nampaknya pada bagian ini Kompas perlu kaca untuk bercermin! Apakah tidak sadar bahwa pada artikel itu tidak tercantum nama penulisnya? Apakah kemudian penulisnya “menjadi monyet” (meminjam istilah dari artikel itu)? Apakah berarti para wartawan yang biasanya hanya mencantumkan inisialnya dalam artikel-artikel di surat kabar semacam Kompas juga ikut termasuk “menjadi monyet”? π
Selain itu penggunaan kata “tendang” untuk menerjemahkan kata “forward” merupakan terjemahan yang ngawur dan terkesan cenderung emosional. Bukankah forward lebih cocok diterjemahkan menjadi “dikirim ke orang lain” atau “disampaikan” atau “diteruskan”? Sebagai surat kabar yang selama ini dianggap santun, gw rasa penggunaan istilah “monyet” dan “tendang” jadi terkesan kasar dan tidak santun! Kompas seperti mencoreng mukanya sendiri dengan artikel semacam itu…
MASALAHNYA, milis yang seharusnya bersifat internal sering kali βditendangβ ke luar kelompoknya. Istilah kerennya forward.
Sementara itu, meskipun menganggap milis tidak punya kredibilitas, namun rupanya pihak redaksi Kompas cukup bersemangat menanggapi posting yang semula hanya dikirim ke milis ITB itu. Selain memasang artikel soal tendang menendang tadi, redaksi Kompas juga membuat tanggapan lain, seperti yang dikirim Budiman Tanuredjo (Desk Politik dan Hukum Kompas) ke Basuki Suhardiman dan diforward atau diteruskan (bukan ditendang) ke milis ITB (http://www.mail-archive.com/itb@itb.ac.id/msg47356.html)
Alinea terakhir dari e-mail itu cukup menarik untuk disimak:
… Kami juga mengharapkan Satrio Kepencet mau membuka jati dirinya secara jelas sehingga bisa membantu kami untuk mendapatkan informasi tentang perilaku wartawan Kompas di lapangan. Dengan mau membuka diri, tentunya kami bisa juga ikut menilai kualitas dari Satrio Kepencet dan kualitas informasi yang disampaikannya. Kami terbuka untuk menerima masukan apapun — dengan data yang bisa dipertanggungjawaban bukan sekadar fitnah dan tudingan tak berdasar– untuk perbaikan kami di masa depan. Kami menerima segala kritik dan masukan dan karena itu kami juga membuka ruang kritik melalui Forum Pembaca Kompas dan Ombudsman Kompas yang anggotanya orang-orang luar Kompas untuk “mengadili” Kompas jika Kompas melakukan kesalahan.
Lagi-lagi mempersoalkan jati diri. Padahal ketika tahun lalu menanyakan apakah artikel profil Anne Ahira ini iklan atau bukan, gw menyertakan nama jelas dan lengkap tapi tidak ada tanggapan. Gw sampai mengirim dua kali ke kompas@kompas.com
tetap saja tidak mendapat jawaban. Padahal katanya “Kami menerima segala kritik dan masukan”…
Yulian yang menulis di blognya soal tidak adanya bagian yang objektif dari pewawancara dalam wawancara Anne Ahira di Kompas edisi 20 Maret 2005 juga tidak sedang menyembunyikan identitasnya, namun tetap saja tidak ada tanggapan dari pihak Kompas.
Yang lebih parah, Priyadi ditendang dari milis Forum Pembaca Kompas (FPK) setelah mengkritik Kompas soal Roy Suryo, padahal Priyadi jelas-jelas mencantumkan nama aslinya ketika itu! π‘
Well, apakah memang begitukah cara Kompas menghadapi kritik? Dengan tidak menjawab, menendang keluar dari milis FPK, menuduh tidak kredibilitas, hingga mengumbar kata-kata “monyet”… ??? π
Begitukah? Tidak adakah cara lain yang lebih mampu menunjukkan kredibilitas yang tersisa? π
Semoga tidak semua media massa bersikap seperti itu dalam menanggapi kritikan yang datang!
Kamu sentimentil deh.. ah sudahlah.