Telah dapat gading bertuah, terbuang tanduk kerbau mati.
Mungkin itu peribahasa yang cukup cocok untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh sebagian pelaku industri musik di Tanah Air beberapa waktu belakangan ini dalam memasarkan album.
Contoh paling tampak jelas adalah semakin banyak musisi Indonesia (dan perusahaan rekaman tempat mereka bernaung) meninggalkan cara pemasaran lewat toko musik konvensional dan memutuskan untuk menjual album baru hanya lewat jaringan rumah makan siap saji atau minimarket tertentu saja, meskipun sulit membayangkan kedua jaringan bisnis itu akan terus berjualan album musik dalam jangka panjang. Siapa saja para musisi itu? Ada sejumlah nama seperti NOAH, Ari Lasso, Ungu, Melly, Agnes Monica, Ello, Tasya Kamila, dan Afgan.
Sementara itu, di sisi lain ada pula sejumlah musisi kita yang tidak lagi merilis lagu atau album barunya secara fisik dalam bentuk cakram padat (CD). Sekadar menyebut contoh, di antaranya ada Indra Lesmana (album 11:11), Nidji (album 5cm), dan Musikimia (lagu “Apakah Harus Seperti Ini”). Mereka memilih meluncurkannya cuma dalam versi digital saja, baik berupa berkas (file) maupun aplikasi, lewat kanal penjualan daring seperti iTunes Store/App Store, Amazon.com, dan sejenisnya.
Apakah itu adalah keputusan yang bijaksana dan tepat? Mencoba menggunakan berbagai cara baru dalam memasarkan album sangatlah wajar. Tapi, yang disayangkan dan perlu dipertanyakan, mengapa tergesa-gesa langsung meninggalkan cara lama?
Adalah Troy Carter, manajer Lady Gaga, yang menganggap bahwa untuk mengedarkan album dengan cara baru janganlah langsung meninggalkan cara lama. “Dalam bisnis ini, Anda tidak bisa mengguncang airnya secara tiba-tiba. Ini mengenai perubahan yang bertahap,” kata Troy dalam sebuah konferensi mengenai dunia digital di New York, Amerika Serikat belum lama ini.
Pendapatnya itu tampak pada keputusan mengenai cara pendistribusian album baru Lady Gaga yang berjudul “ARTPOP”. Meskipun direncanakan akan diluncurkan sebagai aplikasi, namun ternyata para penggemar tetap diberikan kesempatan membeli album itu dalam bentuk CD musik seperti biasanya.
Dalam hal ini, cara lama tidak langsung ditinggalkan karena sang manajer masih yakin dengan prospek penjualan album CD. “Dari rata-rata album yang diluncurkan saat ini, 60-70% di antaranya berupa CD, sisanya sekitar 30% dalam bentuk digital. (Menjual album) CD masih merupakan bisnis yang besar,” ujarnya.
Bagi Troy, CD atau album fisik masih menjadi penggerak utama (dalam bisnis musik) untuk saat ini. Itu tidak hanya dilihat dari perspektif industri saja, tapi juga dari sisi penggemar.
Dia mencontohkan album baru Justin Timberlake yang angka penjualannya langsung mencapai hampir 1 juta keping CD hanya dalam seminggu sejak dirilis. Dari jumlah itu, sekitar 375.000 keping di antaranya berasal dari transaksi yang dilakukan di toko Target, adapun Walmart menyumbang angka penjualan yang lebih besar, dan kemudian sisanya berasal dari hasil pemasaran via iTunes.
“Jadi, pasar album fisik atau CD masih besar. Sehingga jika Anda memutuskan merilis sebuah album hanya dalam bentuk aplikasi saja, Anda akan menyadari kalau bisnis Anda bakal berubah dari besar menjadi kecil,” katanya mengingatkan.
Troy mengakui, cara penjualan album memang akan mengalami perubahan, tapi tidak dalam waktu sangat dekat. Kepada All Things D, situs berita penyelenggara konferensi itu, ia memprediksi pasar baru akan benar-benar serba mobile dalam tiga hingga lima tahun mendatang.
Saya tidak tahu apakah para pelaku industri musik di Tanah Air setuju atau tidak dengan pendapat Troy Carter tadi. Tapi, menurut saya, apa yang disampaikan manajer dari penyanyi kontroversial itu terbilang masuk akal. Alasannya layak untuk dipertimbangkan oleh para musisi Indonesia sebelum terburu-buru langsung meninggalkan cara lama menjual album.
Seperti Troy yang percaya bahwa peminat dan prospek bisnis album CD masih besar, saya pun demikian. Saya percaya keberadaan album CD dan juga toko musik konvensional sebenarnya masih punya peluang bertahan. Setidaknya, hingga beberapa tahun ke depan akan tetap ada para penggemar yang ingin selalu membeli album dalam bentuk cakram padat dari musisi favoritnya di toko musik konvensional. Salah satunya adalah saya.
mungkin data penjualan CD lewat fast food resto menarik untuk ditelusuri ^^
@ didut, itu perlu dibahas dalam tulisan tersendiri 🙂
Album terbaru Rolling Stones, Grrrrrrr, di jual di gerai pompa bensin di sini beserta merchandisenya 🙂 Aku setuj pendapatmu bahwa akan selalu ada penggemar musik yang membeli bentuk fisik album (CD) ketimbang digital.
Di sini, outlet CD yang kuanggap terbesar JB Hifi pun masih mengutamakan penjualan bentuk fisik album meski di pinggiran shelf-nya ya sudah digantung aneka ragam voucher untuk iTunes.
Tulisan yang menarik…
Don, album The Rolling Stones itu tersedia juga di toko musik di sana atau hanya di pom bensin aja?
Kalau saya pribadi masih suka yang versi digital… seperti via iTunes…
saya termasuk tidak bisa menjaga barang yang berupa fisik…
nah, kalo di indonesia sendiri pembajakannya kan udah diluar kendali banget ya mas,.
kalo lagu-lagu aku misalkan digratisin di web resmi band aku, tapi aku juga jual cd nya itu gimana mas,.?
tapi lagu yang aku gratisin ini juga tetep bisa dapet penghasilan dari situ, bisa pasang google adsense,.
emang sih, kalo kayak gitu sama aja ngebuka kesempatan untuk ngebajak lagu-lagu aku,.
tapi kalo orang ngebajak cd kita, jelas kita engga ada penghasilan, tapi kalo orang download lagu kita secara gratis di web resmi kita, kita kan bisa dapet penghasilan disitu,.
menurut mas gimana,.?