Media

Mencari Hubungan Perubahan dan Kepercayaan

Harry Roesli. Berjuang untuk perubahan.
JANGAN PERNAH MERASA TAKUT! YANG TAKUT CUMA CECURUT. BESOK ATAU LUSA, PERUBAHAN PASTI DATANG. SADAR ATAU TIDAK, DITUNTUT ATAU DIARAHKAN. TERUS BERJUANG! JANGAN PERNAH MENYERAH DEMI SEBUAH KEPERCAYAAN

Soe Hok Gie. Berjuang untuk perubahan.
BUAT APA MENGHINDAR? CEPAT ATAU LAMBAT, SUKA ATAU TIDAK, PERUBAHAN HANYA SOAL WAKTU. SEMUA BOLEH BERUBAH, SEMUA BOLEH BARU, TAPI SATU YANG HARUS DIPEGANG: KEPERCAYAAN.

Chairil Anwar. Berjuang untuk perubahan.
JANGAN MAU JADI PENGECUT! HIDUP SEKALI HARUS BERARTI. ADA YANG BERUBAH, ADA YANG BERTAHAN. KARENA ZAMAN TAK BISA DILAWAN. YANG PASTI, KEPERCAYAAN HARUS DIPERJUANGKAN!

Kompas

Dari ketiga kutipan di atas yang selama beberapa minggu terakhir ‘menghantui’ penonton televisi swasta dan pembaca KOMPAS di Indonesia dalam 3 buah iklan yang berbeda, setidaknya ada 2 kata yang menjadi kata kunci: PERUBAHAN dan KEPERCAYAAN. Hmm, adakah hubungannya antara perubahan dan kepercayaan? Itulah pertanyaan yang muncul di benak gw πŸ™„

Harusnya pertanyaan tadi itu dapat terjawab pada edisi kemarin, 28 Juni 2005, karena menurut iklan itu: KOMPAS 28 Juni 2005 berubah.

Namun, setelah membolak-balik seluruh halaman edisi 28 Juni 2005, yang gw temui hanyalah Continue reading…

Lowongan: Reporter Radio

Tadi ada teman yang titip info lowongan πŸ™‚

Sebuah radio gaya hidup dan hiburan di Surabaya sedang membutuhkan Reporter Radio dengan kriteria:

  • Pria atau Perempuan,
  • Usia maksimal 25 tahun,
  • Kreatif,
  • Berani tampil di muka umum
  • Sanggup bekerja dengan deadline yang diberikan,
  • Berpenampilan menarik,

Yang berminat, segera kirim lamaran ke… hmm.. ke e-mail gw aja deh: bennych at gmail dot com Buruan! Ditunggu hingga Jum’at, 17 Juni 2005 πŸ™‚

Oh ya, ini info lowongan serius lho! Gak kayak lowongan blogger 1 April lalu :mrgreen:

Koran Tempo atau Tabloid Tempo?

Koran Tempo

Ya, gw tahu gw telat soal penampilan baru dari Koran Tempo :mrgreen: Baru kemarin sore gw sempat membeli Koran Tempo dengan tampilan baru di kios dekat rumah, padahal sejak minggu lalu udah ada iklan di salah satu koran terbitan Surabaya mengenai perubahan itu, yang kalo gak salah dimulai 9 Mei kemarin… :mrgreen:

Begitu selesai membayar ke bapak pemilik kios koran dan majalah, gw jadi sadar bahwa ternyata bentuk Koran Tempo yang sekarang lebih kecil dari perkiraan gw semula… 😯 Sebelumnya gw hanya menebak, paling bentuk barunya gak terlalu beda jauh dengan ukuran koran normal. Paling gak seukuran Jawa Pos-lah. Eh, ternyata sekarang ukurannya sama dengan ukuran tabloid, yang tidak lazim digunakan oleh koran atau surat kabar di Indonesia. Ini Koran Tempo atau Tabloid Tempo ya? Agak aneh tapi menarik! πŸ™‚

Nampaknya perubahan dari broadsheet ke bentuk tabloid itu mengikuti tren yang sedang melanda penerbit surat kabar di Eropa.

“There has been a growing trend in the international community, especially in Europe, for publishers to switch to a more compact size instead of the broad sheet. Sooner or later, we would have to follow the trend. That’s why we decided to start the change now,” the paper’s chief editor Toriq Hadad. (The Jakarta Post, May 10, 2005)

Sebut saja nama-nama seperti The Independent, The Times, dan The Scotsman yang merupakan surat kabar terbitan Inggris yang sudah beralih ke format tabloid.

Oh ya, ukuran Koran Tempo sendiri meskipun sekilas gak beda jauh dengan ukuran tabloid yang beredar di Indonesia, ternyata masih lebih pendek sekitar 1,5 inchi 😯 Barusan gw ukur πŸ˜€ Kenapa gak sekalian dibikin berukuran majalah? 😈

Dengan ukuran barunya, selain lebih mudah memegangnya, isi Koran Tempo jadi terkesan lebih padat ketimbang waktu masih berformat broadsheet. Membacanya pun jadi lebih enak. πŸ™‚

Surat kabar seperti Koran Tempo memang harus terus berinovasi dalam berbagai cara. Tanpa itu, jelas orang agak susah membuat orang berpaling dari surat kabar yang sudah duluan eksis. Istilahnya, melawan gajah tidak harus menjadi gajah… he he he :mrgreen: Bukan begitu? CMIIW πŸ™‚

Dua Pendapat Kompas Mengenai Blog

Baru hari ini gw sempat membaca Kompas edisi dua hari kemarin, edisi Minggu, 8 Mei 2005 dan Senin, 9 Mei 2005. Usai melahap semua halaman, gw sempat merasa bingung… πŸ™„ Terutama ketika mengingat bagian tertentu dari artikel Lebih Nyaman, Lebih Bebas, Lebih Bersensasi… (rubrik “Kehidupan”, Kompas, Minggu, 8 Mei 2005) dan Kolom 8@9: Media Baru (rubrik “Teknologi Informasi”, Kompas, Senin, 9 Mei 2005).

Kebetulan, kedua bagian itu sama-sama menyebut-nyebut soal manfaat blog. Bagian manakah itu?

Selain Friendster, sebut saja situs Blogger, di mana seseorang dapat memuaskan salah satu hasrat terdalamnya untuk berekspresi dan menyatakan tentang dirinya sendiri termasuk deskripsi diri serta foto-foto diri. Namun, tak hanya itu, kebutuhan emosi manusia untuk dipedulikan, diperhatikan, dihargai, dipuji, pun menjadi mudah terpenuhi melalui testimonial dan komentar dari jaringan pertemanan cyber. Semua itu tak harus dinyatakan secara verbal apalagi langsung. Justru kemayaan tersebutlah yang membuat itu semua menjadi terasa nyaman.

Dikutip dari Lebih Nyaman, Lebih Bebas, Lebih Bersensasi…

Sementara bagian dari tulisan di Kolom 8@9: Media Baru yang juga menyinggung soal manfaat berblog adalah sebagai berikut:

Turunan teknologi internet seperti mailing list, e-mail, maupun blog yang di berbagai negara digunakan sebagai sarana efektif untuk berkomunikasi dan tukar-menukar pendapat, di Indonesia menjadi ajang yang sering tidak jelas tujuan dan manfaatnya.

Gw gak tahu apakah penulis kedua artikel yang berbeda hari itu saling berkomunikasi atau tidak. Yang jelas, satunya mempertanyakan manfaat berblog di Indonesia, sementara satunya lagi menyajikan informasi manfaat berblog. Anehnya, yang meragukan manfaat berblog muncul di edisi hari Senin, sementara ‘jawabannya’ sudah terbit di edisi sehari sebelumnya pada media yang sama… 😯

Silahkan saja menuduh gw iseng membanding-bandingkan. Yang pasti gw gak sengaja menemukan hubungan yang agak ganjil antara kedua artikel itu dan bingung. Sebenarnya yang mana sih yang benar-benar mencerminkan pendapat redaksi Kompas yang terhormat? πŸ™‚

Cara Kompas Menghadapi Kritik

Kemarin sore, sambil minum kopi, gw sempat tertawa geli ketika membaca sebuah artikel singkat di Kompas yang berjudul “Tendangan Milis“. Habis, lucu sih! πŸ˜†

Kalau diperhatikan lebih jauh, artikel yang terpasang di rubrik Teknologi Informasi-nya Kompas itu sepertinya merupakan tanggapan terhadap isi salah satu posting di milis ITB bersubjek “Kompas: Obyektivitas Pers yang Hilang” (yang kemudian di blow up detikcom).

Wajar-wajar saja kalau pihak Kompas menulis tanggapan atas sebuah posting di milis yang kebetulan menyebut-nyebut nama institusi mereka. Hanya saja yang menarik dari artikel itu adalah nuansanya itu loh… Emosional, lucu, dan memprihatinkan (kalau tidak mau disebut norak). He he he πŸ˜†

Lihat saja. Alih-alih mempelajari dan menginvestigasi kebenaran isi posting tersebut, nampaknya Kompas -melalui artikel singkat itu- malah lebih suka mempertanyakan kredibilitas milis! πŸ™„

Masalahnya, sering kali milis ini menjadi tidak memiliki kredibilitas dalam memberikan analisis dan persoalan yang sedang dihadapi.

Satu hal yang tidak dimiliki oleh milis, betapa pun akuratnya informasi yang dimilikinya, adalah kredibilitas. Dan percayalah, kredibilitas ini tidak bisa tegak hanya dalam beberapa hari saja, apalagi hanya melalui milis, yang fungsinya menampung aspirasi para anggotanya sendiri.

Di samping soal kredibilitas, bagian lain dari artikel itu juga menyorot soal “orang-orang yang merahasiakan identitas dirinya dengan berbagai tujuan” dan ditambah menuduh mereka “menjadi monyet”… 😯

SEMUA orang bisa menjadi monyet di jaringan internet, menjadi pepatah yang menggambarkan betapa kemajuan teknologi komunikasi informasi ini menjadi sangat rawan dalam diseminasi informasi. Apalagi untuk Indonesia, di tengah pertumbuhan jaringan internet yang pesat dan suasana demokrasi yang meriah, apa saja bisa terjadi.

Apalagi, milis sering kali ditulis oleh orang-orang yang merahasiakan identitas dirinya dengan berbagai tujuan, yang hanya diketahui oleh penulis anonim tersebut. Ketika penulis milis ini anonim, segera saja ia menjadi monyet yang dengan nakalnya mempermainkan orang-orang.

Entah pertimbangan apa yang digunakan sehingga dengan mudahnya langsung memutuskan bahwa milis tidak punya kredibilitas. Apakah hanya karena ada posting di milis itu yang membuat pihak Kompas tersinggung lantas milis menjadi tidak punya kredibilitas?
Continue reading…

Tora Sudiro dan Friendster

tora

Satu lagi pengakuan seleb Indonesia yang mendapat manfaat punya account di Friendster. Di FHM Indonesia edisi April 2005 ada wawancara dengan Tora Sudiro yang bilang:

… kalau soal nama saya yang berkibar itu karena saya rajin main Friendster…

Memang, saat ini Friendster udah gak booming. Tetapi mereka yang memperoleh manfaat dari ikutan online social networking seperti si Tora tentu akan selalu mengingatnya. Selain Tora, setahu gw seleb Indonesia lain yang juga punya account di Friendster adalah Baim dan Tika Panggabean. Gw tahunya pas dengar wawancara mereka di salah satu radio di Surabaya. Gw yakin masih ada nama-nama seleb lain yang ikutan. Tools seperti Friendster, Orkut, Multiply, 360-nya Yahoo, dan sejenisnya jika dimanfaatkan dengan baik memang bermanfaat kok. πŸ˜‰

Jadi ingat kapan hari ada seseorang yang sering disebut pakar oleh sejumlah media di Indonesia mengirim surat pembaca sampai ke berbagai media cetak di Indonesia hanya untuk bilang kalau yang ikutan Friendster itu norak. Mengetahui bagaimana Friendster digunakan dengan antusias oleh seleb-seleb kita seperti Tora, Baim, dan Tika, kira-kira orang tadi itu kenapa ya berbuat begitu? πŸ™„ Gak mendapat manfaat? Gak perlu kayak gitu dong ah… πŸ˜›