Daily Life

Tidak Seperti Berada di Dapur Sebuah Desa

[rate 3.0]

dapur desa

Minggu (22/10) kemarin gw dan istri makan siang di Dapur Desa. Dapur Desa adalah sebuah rumah makan yang tergolong baru di Surabaya. Berada di jalan Basuki Rahmat yang merupakan salah satu jalan utama di Surabaya membuat kehadirannya menarik perhatian orang-orang yang sering lewat jalan itu.

Dari nama dan ornamen pada atap bangunannya, sepertinya rumah makan ini menawarkan menu dan suasana pedesaaan. Begitu melewati pintu masuk, setelah ditanya untuk berapa orang, kita dipersilakan untuk langsung memilih makanan. Di meja panjang sebelah kiri berjejer sejumlah tempeh beralas daun pisang yang berisi berbagai lauk pauk. Tidak terlalu banyak sih macamnya. Di antaranya ada ayam goreng, gepuk, tempe bacem, tahu bacem, ikan bakar, perkedel, perkedel/dadar jagung, terancam, tumis kangkung, tumis toge, cecek, teri kacang, nasi bakar, dan nasi tutug tempe. Ada yang sudah matang, ada yang harus digoreng dulu setelah dipilih. Jadi tetap aja harus menunggu untuk dihidangkan di meja kita. Sementara untuk sambalnya bisa diambil sendiri di salah satu sudut. Pilihannya ada tiga: sambal terasi, sambal bajak, dan sambal ijo.

Akhirnya kita memilih Ayam Goreng “DD”, Gepuk, Perkedel Jagung, Terancam, Nasi Bakar “DD”, dan Nasi Tutug Tempe. Untuk minumnya, cukup sebotol air kemasan dingin lantaran saat hendak memesan minuman ternyata daftar menunya tidak tersedia. “Buku menunya belum jadi, Pak,” kata pelayannya yang berbusana resmi ala Jawa Timuran sambil menyebutkan berbagai pilihan jus. Agak mengherankan mengingat rumah makan ini sudah hampir sebulan buka… ๐Ÿ™„
Continue reading…

Isi Minimalis ala RingMaster

[rate 1.5]

Dari penampilannya, sekilas RingMaster terlihat seperti donut keluaran J.CO maupun Krispy Kreme yang tergolong jenis glazed donut. Mungkin lagi ngetren ya jenis donut seperti itu. Begitulah kesan pertama yang muncul saat mengunjungi gerai RingMaster yang barusan buka di Tunjungan Plaza 3 Surabaya. Tapi apakah rasanya juga sama-sama enak? Itu yang lebih penting! ๐Ÿ˜Ž

ringmaster donut

Mirip dengan gerai J.CO, di tempat donut yang satu ini juga menggunakan konsep open kitchen. Pembeli bisa melihat proses pembuatan donut meskipun sedkit terhalang karena mesinnya diletakkan persis di belakang tempat karyawan yang sedang melayani pembeli. Yang agak berbeda, jalur masuk pembeli untuk memilih varian donut diawali dari sebelah kanan, bukan dari sebelah kiri.

Sistem harga yang dipatok juga tidak berbeda dengan J.CO. Untuk 1 buah donut dijual 5.500, 1/2 lusin 25ribu, dan 1 lusin 45ribu rupiah. Sayangnya tidak dikasih struk…
Continue reading…

Ketika Dian Sastro Jadi Host

Lantaran penasaran dengan apa yang diceritakan Thomas soal Dian Sastrwardoyo dan Super Milyader 3 Milyar (iya, memang begitu judul posting-nya Thomas [pada saat tulisan ini saya buat]), kemarin malam (1/10) gw sempat-sempatin untuk menonton acara “Super Milyarder 3 Milyar” yang disiarkan antv itu, meskipun gak sampai selesai. Padahal rencananya ingin keluar jalan-jalan agak sorean.

Ada beberapa hal baru lainnya dalam acara itu selain host baru. Salah satunya adalah tambahan fasilitas bantuan. Selain tiga fasilitas bantuan yang sudah ada selama ini, sekarang ada tambahan fasilitas yang diberikan setelah melewati titik aman pertama. Yaitu, Switch the Question alias bisa menukar pertanyaan yang dianggap sulit dengan pertanyaan lain. Begitu juga dengan titik aman pertama yang sekarang ada di level 3 juta. Sayangnya sejumlah perubahan yang terlihat di layar kaca itu tidak terpasang di situs web antv. Kayaknya informasi yang ada di situ sudah basbang

Soal host baru, sepertinya terlalu berat bagi Dian Sastro menjadi host acara versi baru dari “Who Wants to Be a Millionaire?” yang selama ini identik dengan Tantowi Yahya itu. Pasalnya, selain akan selalu dibanding-bandingkan dengan Tantowi Yahya, juga ada beban tersendiri sebagai seseorang yang sebelumnya tidak punya pengalaman sebagai pembawa acara.
Continue reading…

Ny. Ong vs. Ny. Yong

Gepuk adalah salah satu jenis makanan pesanan gw yang dikirim Endhoot dari Bandung minggu lalu. Gw memang sengaja pesan lantaran sudah lama bikin gw penasaran. Berhubung beberapa minggu belakangan ini gw sibuk banget, baru hari ini bisa bahas soal makanan asal Bandung itu.

Oh ya, katanya Endhoot, bagi orang Bandung, gepuk sendiri artinya adalah empal. Padahal jika dibandingkan dengan empal yang biasa gw temui di warung-warung yang ada di Surabaya, penampilan gepuk dari Bandung itu jauh berbeda. Biar gampang dibedakan, menurut gw, gepuk itu adalah empal yang dimasak sampai empuk atau something like thatโ„ข ๐Ÿ™‚ CMIIW.

Ternyata di Bandung ada dua merek gepuk yang terkenal, Ny. Ong dan Ny. Yong. Kalau hanya melihat penampilannya, sekilas keduanya mirip banget. Apalagi merek yang diusung juga hampir sama. Cukup membingungkan bagi yang belum mengetahuinya keberadaan dua merek tersebut.

Keduanya boleh sama-sama menyebut diri sebagai gepuk asal Bandung, harga per potong juga boleh sama-sama 6000 rupiah per potong, nama juga boleh mirip, tetapi ternyata rasanya berbeda. Bahkan perbedaan rasanya cukup kontras. Mana yang lebih enak? Lihat dulu perbandingannya… ๐Ÿ˜‰
Continue reading…

DTK: Deja vu Tidak Komplit

[rate 3.0]

Sabtu malam kemarin (9/9), kebetulan gw sempat menyaksikan sinetron baru di RCTI berjudul DTK “Dunia Tanpa Koma”, yang digembar-gemborkan sebagai sebuah sinetron yang menjanjikan. Dilihat dari pendukungnya memang cukup menjanjikan. Mulai dari artis pendukungnya sampai penulis skenarionya, semuanya memang nama-nama kondang. Lihat saja yang sudah tampil dalam episode pertama kemarin itu, ada Dian Sastro, Fauzi Baadila, Tora Sudiro, Surya Saputra, Didi Petet, Slamet Rahardjo, Wulan Guritno, Indra Birowo, Cut Mini, dan Donny Damara. Itu masih ditambah dengan sederet nama terkenal lain macam Leila S. Chudori (penulis skenario), Leo Sutanto (produser), dan Maruli Ara (sutradara). Kurang? ๐Ÿ˜‰

Ya, kurang Nicholas Saputra, Rachel Maryam, dan Aida Nurmala! Kenapa? Continue reading…

Ketika Suporter Sepakbola Masih Bermasalah

artikel bonek

Terjadinya aksi beringas yang dilakukan suporter sepakbola di Surabaya kemarin sore sungguh memprihatinkan. Lewat tayangan di tv, terlihat para suporter dengan entengnya memecahkan kaca-kaca mobil yang diparkir di depan Stadion Tambaksari. Bahkan sejumlah mobil dibakar. Brutal! ๐Ÿ˜ก

Tidak hanya itu. Saat gw mendengarkan Radio Suara Surabaya, ada pengendara mobil yang melaporkan kalau kaca mobilnya dipecahkan oleh rombongan suporter yang melintas di jalan raya. Doh! ๐Ÿ˜

Tiba-tiba gw jadi teringat dengan wawancara gw sekitar 10 tahun silam dengan sosiolog Hotman Siahaan mengenai aksi brutal suporter sepakbola. Kebetulan pada saat itu, gw juga sempat menemukan seorang suporter untuk diwawancara. Berdasarkan arsip gw, hasil wawancara tersebut dimuat di majalah Hai edisi 42/XX/22 Oktober 1996 menjadi dua artikel.

Melihat tahun wawancara dan pemuatannya memang sudah lama namun gw rasa ada sejumlah pendapat dari Hotman yang masih menarik untuk disimak kembali.

Dalam wawancara itu, Hotman mengatakan bahwa dalam situasi bergerombol, orang bisa melakukan apa saja karena itulah karakteristik massa. “Pada dasarnya setiap kerumunan punya kemungkinan menimbulkan kerusuhan, bukan hanya sepakbola,” kata Hotman.

Saran supaya suporter diseleksi, menurutnya sama saja. Hal itu tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya ketika orang-orang yang terseleksi itu berkumpul, karakteristik massanya tetap ada meskipun mungkin dengan gradasi yang lebih rendah.

Jadi, solusinya? Continue reading…