Satu-satunya Layanan Gojek Tanpa Go?

paylater-go

Ketika beberapa hari lalu garis waktu di Twitter ramai dengan komentar dan iklan tentang logo baru Gojek, saya jadi tertarik mencari informasi soal itu di situs webnya. Di situs webnya, selain logonya, terlihat deretan ikon dari berbagai layanannya juga ikut berubah. Dari situ saya malah baru menyadari bahwa ternyata ada satu layanan yang tidak dilekatkan prefiks atau awalan Go di depan namanya. Apakah itu?

Layanan itu tertulis sebagai PayLater, bukan GoPayLater. Nama tersebut langsung terlihat berbeda di antara layanan-layanan Gojek seperti GoRide, GoCar, GoFood, GoPay, GoTix, dan lain-lain. Apakah berarti PayLater adalah satu-satunya layanan Gojek yang tidak pakai prefiks “Go”? Untuk saat ini tampaknya demikian.

Padahal selama ini Gojek terbilang paling konsisten menyematkan prefiks “Go” dalam penamaan nama layanan jika dibandingkan merek lain. Sehingga nama layanan PayLater itu jadi terlihat agak aneh. Apalagi beberapa merek lain yang punya layanan bernama sama justru menyematkan merek mereka. Sebut saja seperti OVO PayLater.
Continue reading…

Janethes – Janethes Untuk Semua

Janethes – Janethes Untuk Semua: Ini adalah situs web yang menyajikan tulisan-tulisan seputar kehamilan, bayi, dan pendidikan untuk ibu dan anak. Sebenarnya isinya bagus juga, tapi mungkin bakal mengecewakan pengunjung yang mengira ini tempat segala sesuatu tentang Jan Ethes, anaknya Gibran Rakabuming Raka, yang terkenal menggemaskan.

Tentang Iklan Facebook dan WhatsApp di Surat Kabar

Dalam minggu ini, saya menemukan ada dua iklan yang dipasang pihak Facebook di surat kabar Jawa Pos. Yang pertama, iklan Facebook pada tanggal 4 Maret 2019. Yang kedua adalah iklan WhatsApp pada 9 Maret 2019. Kedua iklan itu sama-sama berukuran satu halaman penuh, berwarna pula.

facebook whatsapp

Jika dicermati, sebenarnya pesan yang terkandung dalam iklan Facebook dan WhatsApp itu bagus untuk edukasi agar tidak sembarangan membagikan informasi, terutama via internet. Saya juga sangat suka dengan slogan “Bagikan kebahagiaan, bukan rumor” dari WhatsApp.

Namun, sayangnya, teks pada kedua iklan itu berukuran kecil. Bahkan tergolong terlalu kecil jika dibandingkan dengan besar iklannya yang satu halaman penuh ukuran surat kabar. 🤔

Dengan kondisi seperti itu, saya jadi meragukan efektivitasnya. Apakah pesan itu akan bisa tersampaikan dengan baik kepada pembaca? Seberapa banyak pembaca surat kabar akan tertarik membaca tulisan iklan sekecil itu? 🤔
Continue reading…

Kisah Tentang (Ayahnya) Ahok?

Awalnya, saya mengira film A Man Called Ahok ini akan benar-benar mengisahkan segala hal tentang Ahok dari kecil hingga dewasa. Ternyata, sayangnya, tidak demikian.

Dari awal hingga kira-kira 60 menit berlalu, film ini lebih banyak bercerita soal Kim Nam, ayahnya Ahok, yang diperankan oleh Danny Sumargo. Mulai dari karakternya yang suka menolong orang hingga kesulitan ekonomi dan oknum pejabat tengil yang harus dihadapinya. Meskipun agak loncat-loncat, kisahnya itu sebenarnya cukup menarik, bukannya tidak menarik.

Namun, hal tersebut membuat fokus film ini terhadap Ahok seperti teralihkan. Tidak hanya sesaat tetapi lebih dari separuh film. Akan beda situasinya jika, misalnya, penggambaran kisah sang ayah itu semuanya diperlihatkan dari kacamata Ahok kecil. Pembacaan narasi oleh Daniel Mananta tidak banyak membantu merangkaikan semua hal itu agar selaras dengan judul film.
Continue reading…

Yang Masih Tersisa dari Film “Searching”

Film “Searching” memang sudah tidak tayang lagi di bioskop, tetapi cerita yang diusungnya masih berkesan di benak saya.

Mengusung kisah pencarian seorang anak hilang oleh ayahnya, sekilas, film ini terkesan biasa-biasa saja. Apalagi tidak bertaburan nama-nama besar. Namun, sebenarnya tidak demikian. Topik yang tergolong sederhana itu cukup berhasil digarap menjadi sesuatu yang oke. Lebih oke daripada ekspektasi saya sebelumnya.

searching

Awalnya, saya tertarik menonton film arahan Aneesh Chaganty ini karena mendapat kabar digunakannya internet sebagai alat bantu utama dalam pencarian itu.

Kombinasi penggunaan komputer dan internet memang membuat film ini lebih menarik untuk diikuti. Namun, plot ceritanya tetap menjadi faktor penting. Plot yang tidak terlalu gampang ditebak, bahkan dari awal cenderung mengecoh dengan disertai, tentunya, unsur kejutan. Keberhasilan John Cho yang memerankan sang ayah bernama David Kim dan Michelle La sebagai Margot Kim yang mendadak hilang juga tidak bisa dilewatkan.

Selain itu, sesungguhnya ada hal lain yang lebih penting yang bisa dipetik untuk menjadi pelajaran. Yaitu, pesan dan sentilan terkait dengan hubungan antar anggota keluarga di era media sosial seperti sekarang.

Apa saja?
Continue reading…